Sebelum memahami pendidikan
karakter, seyogyanya kita terlebih dahulu memahami hakikat pendidikan secara
umum. Pendidikan merupakan sebuh fenomena antropologis yang usianya setua
dengan sejarah manusia itu sendiri. Sehingga penulis pahami bahwa pendidikan merupakan
kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus.
Secara etimologi, pendidikan
merupakan kata benda turunan dari kata kerja bahasa latin, educare. Kata educare dalam bahasa latin memiliki konotasi melatih
atau menjinakkan dan meyuburkan. Jadi, pendidikan merupakan sebuh proses yang
membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata
menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata
keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Kata pendidikan juga
melibatkan interaksi dengan berbagai macam lingkungan lembaga khusus, seperti
keluarga, sekolah, yayasan, namun juga serentak menuntut adanya tanggung jawab
sosial dalam kerangka kompleksitas relasional yang ia miliki.
Sedangkan
secara terminologi, pengertian pendidikan banyak sekali dimunculkan oleh para
pemerhati/tokoh
pendidikan, di antaranya: menurut Marimba pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. (ahmad Tafsir 2005: 24).
Menurut
Lodge pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman dan pengertian secara sempit
malahan sekadar pendidikan di sekolah.
Alfred North Whitehead mengambil pengertian pendidikan yang sangat
sempit. Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah pembinaan keterampilan
menggunakan pengetahuan (Ahmad Tafsir 2005: 26).
Menurut
Arifin (2008: 22) pendidikan ialah
“memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan
kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar
manusia.
Dengan
melihat pendapat-pendapat di atas mengenai terminologi pendidikan maka dapat
diambil kesimpulan pendidikan adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan
nilai-nilai kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan,
bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai
keselarasan dan kesempurnaan
hidup.
Pendidikan Karakter
Setelah kita mengetahui esensi pendidikan secara umum maka yang perlu
diketahui selanjutnya adalah hakikat karakter sehingga bisa ditemukan
pengertian pendidikan karakter secara komprehensif.
Istilah karakter
digunakan secarakhusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad 18,
terminologi karakter mengacu pada pendekatan idealis spiritualis yang juga yang
juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang menjadi prioritas
adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dominisator
sejarah baik bagi individu maupun bagi perubahan nasional. Istilah karakter
berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave
atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu
permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang
pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku
Istilah karakter
sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Tentang ambiguitas terminologi
‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat karakter
sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah
diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan
dalam dirikita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah
ada secara kodrati (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai
tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi
tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang
dikehendaki (willed).
Karakter sebagai suatu
kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai
kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini
membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam,
ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan
pelaksanaan kebebasan yang kita miliki.
Melalui dua hal ini
kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta
kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi
yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sananya – kodrati- tidak
cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai
karakter. Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah
seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada
kondisi-kondisi yang telah ada dari sananya atau ia menjadi tuan atas kondisi
natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada
yang willed tadi.
Orang yang memiliki
karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas
yang telah ada begitu saja dari sananya - kodrati. Sedangkan, orang yang
memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang
telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter
dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya
sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat
pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan
kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi secara kodrati itu, dalam
tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Seolah-olah semua
ini ada di luar kendali dirinya.
Fatalisme seperti ini sangat kontra produktif dengan cita-cita sebuah
pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia
itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah
dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam
dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan
dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara
kebebasan dan determinasi,antara karakter yang stabil dengan ekspresi
periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah. Dengan
gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu
bergerak maju mengarah ke masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diri
sebagai manusia yang lebih besar.
Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan
dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara
optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang
sekarang ini ia miliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia
menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur
antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah
tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini
menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia
untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya.
Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak
mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha
hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya
demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.
Thomas Lickona (1992:12-22) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai
sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa
karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus
dilakukan.
Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal
itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan ka
rakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan
pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.
Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter
tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapakan secara
sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak
masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis. Sehingg keberhasilan pendidikan karakter
dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau
peneladanan atas karakter baik itu
Pendidikan Karakter menurut Albertus (2010:5) adalah diberikannya tempat
bagi kebebasan individu dalam mennghayati nilai-nilai yang dianggap sebagai
baik, luhur, dan layak diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi
kehidupan pribadi berhadapan dengan dirinya, sesama dan Tuhan.
Menurut Khan (2010: 34) pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang
dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk
mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang
mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni
yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap menusia untuk memiliki
kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati adalah religius,
nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat
dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras,
tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas
dan peduli.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal,
yaitu 1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) kemandirian dan
tanggung jawab; 3) kejujuran/ amanah, diplomatis; 4) hormat dan santun; 5)
dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama; 6) percaya diri dan
pekerja keras; 7) kepemimpinan dan keadilan; 8) baik dan rendah hati; 9)
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Thomas Lickona (1992:12-22)
Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan
menggunakan
metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.
Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan
sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab
ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak
mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan
kebajikan.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negarayang
baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga
Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial tertentuyang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
rangka membina kepribadian generasi muda. Heri Gunawan 2012: 23-24)
Dari beberapa paradigma di atas, dapatlah diambil suatu garis besar
bahwasanya Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan
peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta
didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui
pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
Pendidikan karakter adalah proses menanamkan karakter tertentu sekaligus
memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat
menjalankan kehidupan. Dengan kata lain, peserta didik tidak hanya memahami
pendidikan sebagai bentuk pengetahuan, namun juga menjadikan sebagai bagian
darihidup dan secara sadar hidup berdasarkan pada nilai tersebut. Adapun
nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru dan siswa saat di
sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca,
peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab. *yook
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Albertus,
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter
Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT.Grasindo, 2010)
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan
Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplinier),
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Heri
Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung:Alfabeta,
2012)
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach
Respect and
Responsibility, (New York:Bantam Books,1992)
Yahya Khan, Pendidikan
Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta : Pelangi Publishing, 2010)
No comments:
Post a Comment