Apakah yang perlu diperbaiki supaya Indonesia
bisa menjadi bangsa yang lebih baik? Adalah pendidikan. Itulah yang pasti
jawaban yang akan dikemukakan oleh mayoritas masyarakat. Mereka berpikir,
ketika semua orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan bermutu, maka
kemampuan sumber daya manusia akan meningkat, dan ini akan bisa memperbaiki
situasi Indonesia. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, pendidikan macam apa
yang kita perlukan?
Jawaban yang seringkali muncul ialah, pendidikan
sains dan pendidikan moral. Kemudian Pendidikan sains disamakan dengan
pendidikan fisika, matematika, kimia, dan biologi. Sementara, pendidikan moral
disamakan dengan pendidikan agama. Pada konsep inilah yang saya kurang setujui.
Pendidikan sains, dengan beragam cabangnya, tentu
diperlukan. Pendidikan moral dan pendidikan agama tentu juga diperlukan. Namun,
cara mengajarnya harus diubah. Dengan kata lain, paradigma mengajarnya harus
diubah, sehingga bahan yang diajarkan juga ditafsirkan dengan cara yang sama
sekali baru.
Pada hemat saya, pendidikan Indonesia sedang
sakit, dan penyakit yang diderita adalah penyakit apolitis (eine apolitische
Bildung). Apolitis berasal dari dua kata a, yang berarti anti, atau
tidak/tanpa, dan politik, yang berasal dari bahasa Yunani kuno, Politikos,
yang berarti segala sesuatu yang terkait dengan warga negara. Pendidikan yang
apolitis berarti pendidikan yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal
kewarganegaraan.
Artinya, pendidikan terputus dari keprihatinan
sosial politik. Ia hanya terfokus pada soal ketrampilan untuk bisa bekerja di
perusahaan-perusahaan. Ia hanya terfokus untuk mengabdi pasar dan agama, dan
tidak pernah mempertanyakan peran pasar dan agama tersebut. Pendidikan
seolah-olah adalah barang netral yang tak ada hubungannya dengan pertarungan
sosial politik di luar kelas. Inilah penyakit pendidikan kita di Indonesia.
Krisis Pendidikan
Pendidikan juga hanya dilihat sebagai hubungan
antar murid dan guru, seolah masyarakat di luar tak mempengaruhi proses
pendidikan di dalam kelas. Penelitian-penelitian di dalam ilmu pendidikan pun
mengabaikan pengaruh keadaan sosial politik yang ada di luar kelas. Ia menjadi
penelitian yang netral dan basi, serta nyaris tak berguna, karena tak bisa
menangkap kenyataan yang ada dari proses politik dan kekuasaan di luar kelas
yang juga mempengaruhi dunia pendidikan.
Di sisi lain, pendidikan juga menjadikan segala
bentuk tes sebagai ukuran dan tujuannya. Singkat kata, orang belajar, supaya ia
bisa lulus tes. Titik. Sehingga menjadi tujuan utama pendidikan. Pendidikan
menjadi begitu sempit dan dangkal, karena mengabaikan kekayaan sekaligus
kerumitan diri manusia. Ia juga menjadi impoten, karena mengabaikan pengaruh
sosial politik yang ada.
Konsep tes pun lalu juga disempitkan semata
sebagai sebuah upaya untuk memuntahkan ulang apa yang telah dikatakan oleh guru
dan buku. Seorang anak dianggap murid yang baik, ketika ia bisa membeo apa kata
buku, atau apa kata gurunya. Tes lalu menjadi proses cuci otak. Pendidikan
semacam ini tidak akan pernah memperbaiki keadaan Indonesia, melainkan justru
memperparah kerusakan moral dan politik yang ada.
Sikap Kritis dan Kreativitas
Pendidikan yang apolitis ini juga membunuh sikap
kritis. Padahal, sikap kritis sangat diperlukan, supaya orang bisa peka pada
keadaan yang salah, lalu berusaha mempertanyakan dan memperbaikinya. Sikap
kritis juga diperlukan, supaya orang bisa memilih pemimpin yang baik, terutama
menjelang pemilu 2014 nanti. Dengan kata lain, sikap kritis adalah prasyarat
dari warga negara yang baik di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia.
Apalagi sebagai kodrat manusia, kita dibekali pikiran untuk bertafakur.
Pendidikan yang inhumanis (unmenschliche
Bildung) juga mengancam kreativitas berpikir. Padahal, kreativitas adalah
kunci dari kemajuan budaya dan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan yang inhumanis,
sejauh saya mengerti, juga berarti pendidikan yang apolitis, yakni pendidikan
yang mengabaikan pengaruh sosial politik. Pendidikan yang apolitis juga
menghancurkan kreativitas itu sendiri.
Pendidikan yang apolitis adalah pendidikan yang
tidak relevan. Ia menciptakan robot-robot patuh yang tidak mampu berpikir
kritis dan kreatif. Ia juga menghasilkan robot-robot yang mampu menghafal buku
dan kata-kata guru, tetapi tidak mampu membuat terobosan yang penting bagi
perkembangan budaya, seni, dan teknologi itu sendiri. Tak heran, di Indonesia,
penemuan amat sedikit, karena kreativitas dan sikap kritis, yang merupakan
kunci dari terobosan baru, dibunuh oleh dogma budaya, dogma agama dan sikap
apolitis dari birokrasi pendidikan.
Pendidikan yang apolitis, pada akhirnya, membunuh
peradaban itu sendiri, dan hal-hal yang membentuk peradaban itu, seperti
budaya, seni, dan ekonomi. Pendidikan politis menjadi noda bagi peradaban. Ia
menciptakan ahli yang tak punya rasa kemanusiaan dan kepedulian pada keadaan
masyarakatnya. Ia menghasilkan manusia-manusia arogan, tanpa cita rasa dan hati
nurani.
Pendidikan yang Politis
Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang tanpa hati nurani. Ini terjadi
karena pendidikan sains dan teknologi diputus dari analisis sosial
politik di luar kelas, yang menghasilkan keprihatinan pada keadaan masyarakat
yang ada. Ketika ilmu pengetahuan kehilangan hati nurani, maka ia berubah wujud
menjadi senjata untuk memanipulasi manusia dan menghancurkan alam, tempat
manusia hidup.
Pendidikan yang apolitis juga menjadi tempat
untuk melestarikan beragam bentuk ketidakadilan yang ada, mulai dari
diskriminasi sampai dengan kesenjangan sosial yang besar antara yang kaya dan
miskin. Pendidikan yang apolitis membuat siswa menjadi tidak peka pada keadaan
yang ada di depan matanya. Ia membuat pendidikan menjadi steril, dan karena itu
juga melestarikan, dan juga memperbesar, masalah-masalah sosial yang ada.
Oleh karenanya pendidikan harus punya peran yang
kritis terhadap keadaan sosial politik masyarakat. Di dalam kelas, anak diajak
untuk berpikir dan berdiskusi terkait dengan persoalan-persoalan politik yang
ada di luar kelas. Bahkan akan sangat baik, jika anak diajak terlibat langsung
dalam satu gerakan sosial, dan melakukan aksi bersama, entah demonstrasi atau
kampanye atas satu isu sosial yang dianggapnya penting.
Pendidikan harus menjadi kegiatan untuk
merefleksikan keadaan politik yang ada di luar kelas. Ia mengubah siswa sungguh
menjadi warga negara yang terlibat. Ia mempertanyakan krisis dan
masalah-masalah sosial yang ada, serta berusaha mengusahakan alternatif jalan
keluar yang mungkin. Dalam konteks ini, pendidikan berperan aktif di dalam
proses perubahan sosial masyarakat.
Jadi, percuma kita memperbaiki strategi dan metode
mengajar guru di kelas dengan model-model yang baik, ketika situasi sosial
politik dan ekonomi masyarakat di luar kelas kacau balau. Dengan kata lain,
percuma kita memotivasi guru, jika di luar kelas sedang terjadi perang dan
konflik yang mengacaukan masyarakat. Maka, kata Anyon, pendidikan harus berbicara
soal keadaan sosial politik masyarakat, karena pendidikan tidak pernah bisa
dilepaskan dari faktor-faktor sosial politik yang ada.
Pendidikan harus membangkitkan kesadaran politis
(politisches Bewusstsein) siswa sebagai warga negara suatu komunitas
politis. Apapun yang terjadi di dalam komunitas itu juga akan mempengaruhi
dirinya. Maka, ia tidak boleh pasif menunggu, melainkan sebaliknya, aktif turut
terlibat sesuai dengan bidangnya di dalam perubahan sosial tersebut.
Bukan dipolitisir.
Pendidikan yang memiliki aspek politis bukanlah
pendidikan yang dipolitisir. Yang terjadi di Indonesia adalah, pendidikan
justru dijadikan proyek politik untuk melakukan korupsi, kolusi, maupun
nepotisme antar pejabat negara dan perusahaan-perusahaan bisnis, mulai dari
perusahaan alat tes sampai dengan penjual kertas. Pendidikan yang bersifat politis
justru hendak secara kritis mempertanyakan praktek-praktek pendidikan yang
dipolitisir tersebut.
Beberapa contoh mungkin bisa memperjelas. Ketika
mengajar biologi, kita tidak hanya berdiskusi soal sistem pencernaan hewan,
tetapi mengapa hewan-hewan tertentu punah dari muka bumi ini, dan apa peran
manusia di dalam proses itu. Ketika mengajar soal gizi dan pertanian, kita
tidak hanya berdiskusi soal bibit unggul, tetapi juga mengapa petani hidup
miskin di Indonesia, dan apa yang bisa kita lakukan tentang masalah itu. Ketika
mengajar soal ekonomi dan akuntansi, kita tidak hanya sibuk mengajarkan
pembukuan terbuka atau tertutup, tetapi bagaimana perusahaan-perusahaan milik
negara dan swasta di Indonesia membuat pembukuan ganda, guna menipu masyarakat
luas.
Inilah esensi pendidikan politis. Ketika semua
mata pelajaran dan sekolah menggunakan paradigma pendidikan politis ini, maka
langkah untuk memperbaiki Indonesia bisa segera dimulai. Siswa menjadi warga
negara yang peka dan mau terlibat di dalam pelbagai upaya untuk menyelesaikan
masalah-masalah bangsa.