Friday, June 5, 2015

HIDUP yang TERBALIK



Banyak orang merasa dirinya hidup. Mereka bangun pagi, bekerja, makan lalu tidur. Seumur hidupnya, mereka mengikuti apa kata orang, yakni apa yang diinginkan masyarakatnya untuk dirinya. Mereka memang hidup, tetapi tidak sungguh-sungguh hidup, karena terus tunduk pada dunia di luar dirinya.
Mereka berbuat sesuatu, karena masyarakat menginginkannya. Mereka menolak untuk hidup dalam kebebasan, karena itu menakutkan. Orang-orang ini menjalani hidup-yang-bukan-hidup. Mereka hidup, namun sebenarnya sebaliknya.
Di sisi lainnya, banyak juga orang hidup, tetapi mereka diperbudak oleh ambisi-ambisi pribadinya, sehingga menjadi buta akan segala hal. Mereka hidup, tetapi tidak sungguh hidup, karena terus berada dalam tegangan dan penderitaan. Ambisi itu rapuh. Ketika orang gagal mewujudkannya, kekecewaan datang tak terkendali. Ketika terwujud, rasanya hampa dan tawar, seperti sayur tanpa garam.
Ambisi menciptakan ketegangan dalam diri. Ia membuat orang tak peduli dengan lingkungannya. Ia hanya terpaku untuk mewujudkan satu tujuan, yakni ambisinya sendiri, jika perlu dengan mengorbankan orang lain. Orang semacam ini juga tampak hidup, tetapi sebenarnya juga sebaliknya.
Makanan juga seharusnya menyehatkan. Namun, yang kini terjadi adalah, makanan justru menjadi sumber penyakit bagi tubuh. Dengan kata lain, makanan kini telah berubah menjadi racun. Ia tidak menghidupkan dan menyehatkan, tetapi justru membunuh secara perlahan, seringkali tanpa kita sadari.
Para dokter dan ahli gizi disuap untuk memasarkan obat-obat dan bahan makanan yang tidak dibutuhkan masyarakat. Racun pun kini dilihat sebagai obat dan makanan yang bergizi. Semuanya terbalik. Yang paling dirugikan adalah masyarakat luas yang tak memiliki pengetahuan mencukupi tentang dunia yang terbalik ini.
Untuk bisa hidup, manusia harus bekerja. Dengan bekerja, ia lalu mampu mewujudkan kemampuan dan bakat-bakatnya yang sebelumnya terpendam. Ia pun lalu bisa menjalani hidup yang penuh dan bahagia. Namun, yang terjadi adalah, kini pekerjaan juga menghisap dan memperbudak manusia. Ia menjadikan manusia sebagai alat untuk meraih keuntungan finansial.
Orang diperas untuk bekerja, sampai melewati batas. Banyak orang mengalami penyakit, karena tekanan semacam ini. Perbudakan kini ditutupi dengan konsep-konsep bagus, seperti outsourcing. Pekerjaan tidak lagi menunjang dan mengembangkan hidup manusia, tetapi justru menghancurkannya, tanpa ampun.
Pendidikan juga mengalami nasib yang sama. Pendidikan berfungsi untuk mendidik, sehingga orang bisa menjadi cerdas, baik secara intelektual, moral, fisik maupun emosional. Yang terjadi kini adalah, pendidikan justru memperbodoh. Anak diminta untuk menghafal dan mengerjakan hal-hal yang amat sulit, namun tak berguna untuk kehidupan.
Akibatnya, mereka tidak bahagia. Mereka mengalami tekanan batin, karena pendidikan yang dijalaninya. Kecerdasan intelektual menurun. Kecerdasan emosional, fisik dan moral juga makin rendah. Pendidikan justru menjadi sumber dari segala penderitaan dan masalah kehidupan.
     Hal yang sama terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tanpa kecuali. Yang kini terjadi, ekonomi memperkaya satu pihak, dan pada saat yang sama mempermiskin pihak lainnya. Ia menciptakan jurang yang amat besar antara si kaya dan si miskin. Dari jurang tersebut, lahirlah konflik antar manusia. Orang hidup dalam rasa iri dan curiga satu sama lain. Apartemen mewah bersandingan dengan pemukiman kumuh di berbagai tempat di dunia. Semua ini terjadi, akibat tata ekonomi yang telah kehilangan akar dan tujuan dasarnya.
     Politik juga mengalami nasib yang sama. Politik seharusnya merupakan tata kelola untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Namun, ia kini juga sudah terbalik. Politik menjadi ajang memperebutkan kekuasaan, guna meningkatkan kekayaan pribadi. Korupsi menggerogoti politik dari dalam. Kebohongan dan penipuan dianggap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari politik. Orang curiga dan nyinyir begitu berbicara soal politik. Politik telah kehilangan rohnya, dan menjadi arena tinju kekuasaan antara orang-orang yang rakus dan ambisius.
     Bidang kesehatan juga telah mengalami pembalikan. Bidang kedokteran seharusnya membuat orang sehat, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Yang kini terjadi adalah sebaliknya. Orang justru dibuat ketergantungan dengan berbagai obat, dan kemudian harus menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan, karena ketergantungan itu. Banyak dokter yang memberikan nasihat palsu kepada pasiennya, guna memperoleh keuntungan dari perusahaan-perusahaan obat yang membayar mereka. Penelitian-penelitian di bidang psikologi juga menyesatkan, dan justru membuat orang semakin menderita secara batin dalam hidupnya. Uang dihamburkan untuk berbagai penelitian, namun hasilnya justru malah menyakiti manusia. Yang diciptakan bukanlah cara baru untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, melainkan justru penyakit-penyakit baru.

Apa yang Terjadi?
       Mengapa ini semua terjadi? Bagaimana kita memahami gejala hidup yang terbalik ini? Semua gejala ini menandakan satu hal, yakni hancurnya peradaban. Manusia tidak lagi hidup dengan nilai, melainkan hanya menuruti begitu saja keinginan dan ambisinya. Akibatnya, semua sistem penopang kehidupan bersama tidak lagi berjalan. Konflik dan penderitaan pun semakin mewarnai kehidupan manusia, dan hidup manusia pun semakin terbalik.
      Apa yang terjadi sekarang ini merupakan suatu krisis yaitu suatu keadaan, dimana pandangan dan nilai-nilai lama sudah tidak lagi digunakan, dan nilai-nilai baru belum diterima secara umum. Manusia pun hidup dalam situasi “diantara”, tanpa kepastian dan pegangan yang jelas.


No comments:

Post a Comment

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...