Kita semakin jauh dari alam, sehingga hidup kita semakin
tidak alami. Kita bersentuhan dengan beton dan besi, tetapi justru jijik dengan
tanah dan pohon. Padahal, tanpa tanah dan pohon, kita tidak akan dapat hidup.
Kita tidak hanya semakin jauh dari alam. Kita
justru menghancurkan alam. Kita mengeruk sumber daya alam tanpa kendali nurani.
Kita menggunakan energi, tanpa peduli dari mana energi itu berasal.
Kita asik makan daging di restoran. Namun, kita
mengabaikan fakta, bahwa banyak hewan digunakan dan dihancurkan hidupnya oleh
perusahaan-perusahaan daging raksasa. Seperti dinyatakan oleh Peter Singer,
salah satu tokoh etika hewan (animal ethics), hubungan manusia dengan
hewan sama seperti hubungan antara Hitler dengan orang-orang Yahudi pada dekade
1933 sampai 1945 di Jerman. Singkat kata, kita melakukan pembunuhan massal yang
biadab pada jutaan hewan setiap harinya, demi memuaskan nafsu kita atas daging
dan kenikmatan singkat semata.
Kita menghancurkan hutan, supaya bisa mengeruk
keuntungan ekonomi sesaat. Dengan hancurnya hutan, banyak pula binatang yang
kehilangan tempat tinggal. Mereka pun terancam punah. Hampir setiap saat,
menurut Singer, ada salah satu jenis binatang yang punah dari muka bumi ini,
karena kehilangan tempat tinggal alamiahnya. Ketika hutan dan tempat alamiah
para hewan hancur, berbagai bencana pun terjadi, mulai dari banjir sampai
dengan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.
Kini, kita menghancurkan hewan dan tumbuhan.
Artinya, kita menghancurkan alam itu sendiri. Tidak ada alasan yang masuk akal
untuk tindakan ini. Semuanya dilakukan bukan karena kita sebagai manusia perlu
melakukannya, tetapi karena kita rakus dan hanya terpaku pada kebutuhan akan
kenikmatan sesaat belaka.
Cara berpikir yang berpijak pada kerakusan
tersebut kini menjelma secara nyata di dalam ilmu pengetahuan. Bentuk nyata
dari ilmu pengetahuan adalah perkembangan teknologi yang begitu cepat, seperti
yang kita rasakan sekarang ini.
Ilmu Pengetahuan dan Kebodohan
Banyak orang mengira, bahwa ilmu pengetahuan telah menyelamatkan dunia. Ia telah memberi kita begitu banyak kemudahan dalam hidup. Ia berhasil mengembangkan obat-obatan untuk melawan beragam jenis penyakit. Namun, apa artinya semua itu, jika jutaan hewan dan tumbuhan menjadi korbannya, dan menghancurkan alam itu sendiri?
Apakah kita sebagai manusia merasa begitu penting, sehingga keselamatan kita lebih penting dari hewan dan tumbuhan lainnya? Bukankah dengan menghancurkan hewan dan tumbuhan demi kenikmatan sesaat belaka, kita juga, pada akhirnya, menghancurkan diri kita sendiri? Lalu, apa motivasi dari semua tindakan yang merusak ini? Mungkin, ini yang disebut manusia tidaklah memiliki kehendak jahat, melainkan hanya tidak berpikir.
Ia berpikir dengan jangka waktu yang amat pendek. Ia tidak mau melihat dari kaca mata yang berbeda. Bukannya ia tidak bisa, tetapi lebih karena kemalasan berpikir yang mendorong terciptanya kebodohan massal. Orang bisa saja cerdas secara intelektual, tetapi amat bodoh dalam sikap hidupnya.
Hal yang sama banyak terjadi di dalam ilmu
pengetahuan. Orang bisa amat cerdas dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi
sangat bodoh dan biadab dalam sikap hidupnya. Apa yang membuat orang-orang
cerdas ini menjadi begitu bodoh? Jawabannya, pada hemat saya, ada pada cara
berpikir dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tugas utama ilmu pengetahuan adalah memahami, dan
memahami dipahami secara sempit sebagai menganalisis yang berarti memecah
segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Dengan cara berpikir
ini, orang dengan mudah kehilangan pandangan keseluruhan tentang apa yang ia
dalami. Ia bisa memahami sesuatu melalui bagian-bagiannya, tetapi buta pada pandangan secara keseluruhan.
Di dalam ilmu pengetahuan, alam juga dilihat
sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda dari manusia. Manusia seolah mahluk
yang mampu berjarak dari alam dan mengamatinya secara obyektif. Inilah yang
disebut sebagai pandangan subyek-obyek yang amat dalam mengakar di dalam cara
berpikir ilmiah. Jika alam adalah obyek dan manusia adalah subyek, maka sudah
sewajarnya, jika manusia menguasai alam, dan menggunakan untuk memenuhi
kebutuhan serta keinginannya.
Di dalam ilmu pengetahuan, obyek adalah benda.
Manusia adalah subyek. Maka, manusia dianggap memiliki harkat lebih tinggi dari
obyek, yakni benda-benda. Dalam hal ini, alam, termasuk hewan dan tumbuhan,
dilihat sebagai benda-benda yang menjadi kajian utama dari ilmu pengetahuan.
Alam dilihat sebagai bahan mentah. Ia siap untuk
diambil dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan manusia yang
tak terbatas. Jelas, pada akhirnya, alam akan hancur, dan manusia pun akan
hancur bersamanya. Inilah rupanya yang kerap lolos dari pertimbangan para
perusak alam.
Karena alam adalah semata benda dan obyek, maka
manusia punya hak untuk menguasainya. Salah satu bentuk penguasaan adalah
dengan berpikir, bahwa manusia punya hak untuk melakukan uji coba terhadap
alam. Untuk membuat kosmetik, manusia membunuh kelinci dari beragam hewan
lainnya. Untuk memahami struktur otak, manusia merasa berhak melakukan uji coba
terhadap monyet dan tikus.
Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, manusia
memisahkan hewan dari kelompoknya. Untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan,
manusia menculik hewan dari habitat aslinya untuk ditaruh di kebon binatang.
Mengapa kita merasa berhak melakukan itu? Mengapa kita merasa berhak melakukan
uji coba terhadap hewan dan tumbuhan semata demi kebutuhan kita?
Akaranya adalah kesombongan. Yang merupakan
aplikasi dari cara berpikir antroposentrisme
Disadur dari Tulisan Reza A.A Wattimena
“Ilmu Pengetahuan dan Kehancuran Kita”
No comments:
Post a Comment