Friday, December 19, 2014

Antroposentrisme dan Kehancuran Kita



Kita semakin jauh dari alam, sehingga hidup kita semakin tidak alami. Kita bersentuhan dengan beton dan besi, tetapi justru jijik dengan tanah dan pohon. Padahal, tanpa tanah dan pohon, kita tidak akan dapat hidup.

Kita tidak hanya semakin jauh dari alam. Kita justru menghancurkan alam. Kita mengeruk sumber daya alam tanpa kendali nurani. Kita menggunakan energi, tanpa peduli dari mana energi itu berasal.
Kita asik makan daging di restoran. Namun, kita mengabaikan fakta, bahwa banyak hewan digunakan dan dihancurkan hidupnya oleh perusahaan-perusahaan daging raksasa. Seperti dinyatakan oleh Peter Singer, salah satu tokoh etika hewan (animal ethics), hubungan manusia dengan hewan sama seperti hubungan antara Hitler dengan orang-orang Yahudi pada dekade 1933 sampai 1945 di Jerman. Singkat kata, kita melakukan pembunuhan massal yang biadab pada jutaan hewan setiap harinya, demi memuaskan nafsu kita atas daging dan kenikmatan singkat semata.

Kita menghancurkan hutan, supaya bisa mengeruk keuntungan ekonomi sesaat. Dengan hancurnya hutan, banyak pula binatang yang kehilangan tempat tinggal. Mereka pun terancam punah. Hampir setiap saat, menurut Singer, ada salah satu jenis binatang yang punah dari muka bumi ini, karena kehilangan tempat tinggal alamiahnya. Ketika hutan dan tempat alamiah para hewan hancur, berbagai bencana pun terjadi, mulai dari banjir sampai dengan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.

Kini, kita menghancurkan hewan dan tumbuhan. Artinya, kita menghancurkan alam itu sendiri. Tidak ada alasan yang masuk akal untuk tindakan ini. Semuanya dilakukan bukan karena kita sebagai manusia perlu melakukannya, tetapi karena kita rakus dan hanya terpaku pada kebutuhan akan kenikmatan sesaat belaka.
Cara berpikir yang berpijak pada kerakusan tersebut kini menjelma secara nyata di dalam ilmu pengetahuan. Bentuk nyata dari ilmu pengetahuan adalah perkembangan teknologi yang begitu cepat, seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Ilmu Pengetahuan dan Kebodohan
Banyak orang mengira, bahwa ilmu pengetahuan telah menyelamatkan dunia. Ia telah memberi kita begitu banyak kemudahan dalam hidup. Ia berhasil mengembangkan obat-obatan untuk melawan beragam jenis penyakit. Namun, apa artinya semua itu, jika jutaan hewan dan tumbuhan menjadi korbannya, dan menghancurkan alam itu sendiri?

Apakah kita sebagai manusia merasa begitu penting, sehingga keselamatan kita lebih penting dari hewan dan tumbuhan lainnya? Bukankah dengan menghancurkan hewan dan tumbuhan demi kenikmatan sesaat belaka, kita juga, pada akhirnya, menghancurkan diri kita sendiri? Lalu, apa motivasi dari semua tindakan yang merusak ini? Mungkin, ini yang disebut manusia tidaklah memiliki kehendak jahat, melainkan hanya tidak berpikir.

Ia berpikir dengan jangka waktu yang amat pendek. Ia tidak mau melihat dari kaca mata yang berbeda. Bukannya ia tidak bisa, tetapi lebih karena kemalasan berpikir yang mendorong terciptanya kebodohan massal. Orang bisa saja cerdas secara intelektual, tetapi amat bodoh dalam sikap hidupnya.
Hal yang sama banyak terjadi di dalam ilmu pengetahuan. Orang bisa amat cerdas dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi sangat bodoh dan biadab dalam sikap hidupnya. Apa yang membuat orang-orang cerdas ini menjadi begitu bodoh? Jawabannya, pada hemat saya, ada pada cara berpikir dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Tugas utama ilmu pengetahuan adalah memahami, dan memahami dipahami secara sempit sebagai menganalisis yang berarti memecah segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Dengan cara berpikir ini, orang dengan mudah kehilangan pandangan keseluruhan tentang apa yang ia dalami. Ia bisa memahami sesuatu melalui bagian-bagiannya, tetapi buta pada pandangan secara keseluruhan.

Subyek-Obyek
Di dalam ilmu pengetahuan, alam juga dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda dari manusia. Manusia seolah mahluk yang mampu berjarak dari alam dan mengamatinya secara obyektif. Inilah yang disebut sebagai pandangan subyek-obyek yang amat dalam mengakar di dalam cara berpikir ilmiah. Jika alam adalah obyek dan manusia adalah subyek, maka sudah sewajarnya, jika manusia menguasai alam, dan menggunakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginannya.

Di dalam ilmu pengetahuan, obyek adalah benda. Manusia adalah subyek. Maka, manusia dianggap memiliki harkat lebih tinggi dari obyek, yakni benda-benda. Dalam hal ini, alam, termasuk hewan dan tumbuhan, dilihat sebagai benda-benda yang menjadi kajian utama dari ilmu pengetahuan.

Alam dilihat sebagai bahan mentah. Ia siap untuk diambil dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan manusia yang tak terbatas. Jelas, pada akhirnya, alam akan hancur, dan manusia pun akan hancur bersamanya. Inilah rupanya yang kerap lolos dari pertimbangan para perusak alam.

Karena alam adalah semata benda dan obyek, maka manusia punya hak untuk menguasainya. Salah satu bentuk penguasaan adalah dengan berpikir, bahwa manusia punya hak untuk melakukan uji coba terhadap alam. Untuk membuat kosmetik, manusia membunuh kelinci dari beragam hewan lainnya. Untuk memahami struktur otak, manusia merasa berhak melakukan uji coba terhadap monyet dan tikus.

Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, manusia memisahkan hewan dari kelompoknya. Untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan, manusia menculik hewan dari habitat aslinya untuk ditaruh di kebon binatang. Mengapa kita merasa berhak melakukan itu? Mengapa kita merasa berhak melakukan uji coba terhadap hewan dan tumbuhan semata demi kebutuhan kita?

Akaranya adalah kesombongan. Yang merupakan aplikasi dari cara berpikir antroposentrisme
                                                               
                                                                                  
                                                           Disadur dari Tulisan Reza A.A Wattimena   
                                                           “Ilmu  Pengetahuan dan Kehancuran Kita”

                                                                                   



No comments:

Post a Comment

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...