Wednesday, August 24, 2016

MEMAHAMI PENDIDIKAN KARAKTER*



Pengertian Pendidikan


Sebelum memahami pendidikan karakter, seyogyanya kita terlebih dahulu memahami hakikat pendidikan secara umum. Pendidikan merupakan sebuh fenomena antropologis yang usianya setua dengan sejarah manusia itu sendiri. Sehingga penulis pahami bahwa pendidikan merupakan kerangka proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus.
Secara etimologi, pendidikan merupakan kata benda turunan dari kata kerja bahasa latin, educare. Kata educare  dalam bahasa latin memiliki konotasi melatih atau menjinakkan dan meyuburkan. Jadi, pendidikan merupakan sebuh proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain. Kata pendidikan juga melibatkan interaksi dengan berbagai macam lingkungan lembaga khusus, seperti keluarga, sekolah, yayasan, namun juga serentak menuntut adanya tanggung jawab sosial dalam kerangka kompleksitas relasional yang ia miliki.
Sedangkan secara terminologi, pengertian pendidikan banyak sekali dimunculkan oleh para
pemerhati/tokoh pendidikan, di antaranya: menurut Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. (ahmad Tafsir 2005: 24).

Menurut Lodge pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman dan pengertian secara sempit malahan sekadar pendidikan di sekolah.  Alfred North Whitehead mengambil pengertian pendidikan yang sangat sempit. Ia menyatakan bahwa pendidikan adalah pembinaan keterampilan menggunakan pengetahuan (Ahmad Tafsir 2005: 26).

Menurut Arifin  (2008: 22) pendidikan ialah “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia.

Dengan melihat pendapat-pendapat di atas mengenai terminologi pendidikan maka dapat diambil kesimpulan pendidikan adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan
hidup.

Pendidikan Karakter
Setelah kita mengetahui esensi pendidikan secara umum maka yang perlu diketahui selanjutnya adalah hakikat karakter sehingga bisa ditemukan pengertian pendidikan karakter secara komprehensif.

Istilah karakter digunakan secarakhusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad 18, terminologi karakter mengacu pada pendekatan idealis spiritualis yang juga yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dominisator sejarah baik bagi individu maupun bagi perubahan nasional. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku
Istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Tentang ambiguitas terminologi ‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam dirikita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada secara kodrati (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).

Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki.
Melalui dua hal ini kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sananya – kodrati- tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai karakter. Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari sananya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi.

Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sananya - kodrati. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi secara kodrati itu, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Seolah-olah semua ini ada di luar kendali dirinya.
Fatalisme seperti ini sangat kontra produktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.

Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan determinasi,antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah. Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu bergerak maju mengarah ke masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diri sebagai manusia yang lebih besar.

Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang sekarang ini ia miliki.

Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia
untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya.

Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.

Thomas Lickona (1992:12-22) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.

Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good.  Menurutnya keberhasilan pendidikan ka
rakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.

Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sehingg keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu

Pendidikan Karakter menurut Albertus (2010:5) adalah diberikannya tempat bagi kebebasan individu dalam mennghayati nilai-nilai yang dianggap sebagai baik, luhur, dan layak diperjuangkan sebagai pedoman bertingkah laku bagi kehidupan pribadi berhadapan dengan dirinya, sesama dan Tuhan.

Menurut Khan (2010: 34) pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik.

Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas dan peduli.

Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu 1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) kemandirian dan tanggung jawab; 3) kejujuran/ amanah, diplomatis; 4) hormat dan santun; 5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama; 6) percaya diri dan pekerja keras; 7) kepemimpinan dan keadilan; 8) baik dan rendah hati; 9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Thomas Lickona (1992:12-22)

Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan
metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan.

Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga Negarayang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentuyang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
rangka membina kepribadian generasi muda. Heri Gunawan 2012: 23-24)

Dari beberapa paradigma di atas, dapatlah diambil suatu garis besar bahwasanya Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
 
Pendidikan karakter adalah proses menanamkan karakter tertentu sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalankan kehidupan. Dengan kata lain, peserta didik tidak hanya memahami pendidikan sebagai bentuk pengetahuan, namun juga menjadikan sebagai bagian darihidup dan secara sadar hidup berdasarkan pada nilai tersebut. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru dan siswa saat di sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab. *yook






DAFTAR PUSTAKA



Ahmad Tafsir,  Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)

Albertus, Doni Koesoema,  Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT.Grasindo, 2010)

Arifin,  Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisiplinier), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung:Alfabeta, 2012)

Thomas Lickona, Educating For Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, (New York:Bantam Books,1992)

Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta : Pelangi Publishing, 2010)

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...