Dunia memang tak seperti
tampaknya. Banyak hal tersembunyi di baliknya. Yang sering tampil ke depan
justru kebohongan dan penipuan. Kebenaran, yang seringkali menyakitkan, justru
mengendap di balik apa yang tampak.
Pikiran dan Penampakan
Ironisnya, penipu terbesar kita
adalah pikiran kita sendiri. Dengan segala macam prasangka dan trauma, kita
melihat kenyataan tidak dengan kejernihan berpikir, namun dengan kabut yang
mengacaukan. Akibatnya, kita disiksa oleh pikiran kita, misalnya dengan kecemasan
dan ketakutan akan orang lain, atau atas masa depan. Pikiran yang kacau
akhirnya menuntun tindakan yang juga kacau, yang menciptakan konflik dan
ketegangan antar manusia.
Sumber kedua adalah penampakan.
Kita harus hidup dengan berpijak pada pemikiran dasar, bahwa apa yang tampak
itu tak pernah apa yang sesungguhnya. Berpijak pada pandangan ini, maka kita
pun perlu untuk “tidak percaya” pada apa yang tampak dari orang lain.
Tradisi
Di dalam hidup, kita juga
dikelilingi oleh tradisi. Dalam arti ini, tradisi adalah pandangan yang telah
mengental menjadi kebiasaan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
lainnya. Tradisi lalu kerap disamakan begitu saja dengan kebenaran. Inilah
penipuan berikutnya yang mesti kita tanggapi secara kritis.
Tradisi bisa berupa ritual
(upacara adat), tetapi juga bisa berupa kebiasaan lama yang terus dilakukan,
tanpa sadar. Kebiasaan itu dianggap sebagai kebenaran yang tak boleh
dipertanyakan. Anggapan inilah yang membuat tradisi kerap kali menipu kita.
Dunia berubah, dan kita berubah di dalamnya. Tradisi mungkin cocok untuk masa
lalu, tetapi jelas ia harus dipertanyakan ulang, guna menanggapi keadaan di
masa sekarang.
Tradisi sebagai penipuan juga
mengental menjadi pandangan umum, atau klise. Bentuknya beragam, mulai dari
cara merawat anak, sampai dengan apa yang terjadi setelah kematian.
Pandangan-pandangan semacam ini bertebaran luas di masyarakat kita, dan kerap
dipercaya begitu saja, tanpa pikiran kritis. Jika ini terjadi, maka kita juga
akan tertipu oleh tradisi.
Moralitas Tradisional
Moralitas kerap menempel erat
dengan tradisi. Di dalam moralitas tradisional, kita juga bisa menemukan banyak
sekali penipuan-penipuan, terutama jika kita tidak mempertanyakan keduanya
secara kritis. Penipuan-penipuan ini biasanya menutupi penindasan yang ada di
baliknya, yang kerap kali menggunakan tradisi, dan moralitas sebagai
pembenaran. Jika kita terima begitu saja apa yang dituangkan oleh tradisi, dan
moralitas, maka kita juga akan menjadi korban penipuan.
Di dalam hidup sehari-hari, kita
sering mendengar kata berikut, “kata orang”. Biasanya, kata ini muncul, sebelum
sebuah nasihat diberikan. Begitu banyak prasangka dan klise yang melekat pada
kata ini. Begitu banyak penipuan terkandung di dalamnya yang menjerumuskan
orang untuk membuat keputusan yang salah. Hidup yang didasarkan pada “mengikuti
kata orang”, juga dalam bentuk lain, akan menjerumuskan kita pada kepalsuan
hidup.
Hemat saya, bahwa pandangan umum, yakni pandangan yang
diikuti banyak orang, selalu salah. Dengan kata lain, pandangan umum, atau
trend/mode, selalu menyesatkan kita. Dengan alasan, Mode atau trend selalu menggiring kita untuk
berpikir dan bertindak dengan pola yang sudah umum, yang sudah diterapkan oleh
orang lain, namun tak selalu cocok untuk hidup kita.
Jika kita mengikuti mode atau trend,
maka kita akan terperosok ke dalam penipuan. Jika kita mengikuti mode atau
trend secara buta, kita akan hidup dalam kepalsuan. Akibatnya, kita akan
membuat keputusan-keputusan yang tidak tepat dalam hidup kita. Di akhir hidup,
kita akan mati dengan penyesalan, karena melulu secara buta hidup mengikuti
mode.
Pendidikan
Kita hidup di dalam masyarakat
sertifikat. Artinya, sertifikat, yakni kertas tertulis tentang identitas serta
kemampuan kita, menentukan seluruh hidup kita, dari kita lahir sampai mati. Namun,
sertifikat bukanlah kenyataan. Ia adalah simbol dari kenyataan yang di
belakangnya, yakni identitas dan kemampuan kita (ijazah).
Namun, seringkali, ijazah menipu
kita. Ia menggambarkan sesuatu yang tak sesuai kenyataan. Lulusan dari
universitas ternama, namun dengan kemampuan nol besar. Tentu saja, kita perlu
sertifikat, namun kita perlu untuk membaca dan memahaminya secara kritis,
supaya tidak tertipu.
Namun, peringkat tidak
otomatis mencerminkan mutu. Dengan kata lain, peringkat yang tinggi
tidak otomatis mencerminkan kenyataan yang ada. Percaya pada peringkat secara buta berarti siap untuk ditipu. Inilah penipuan yang paling
kejam, yakni bersembunyi pada sesuatu yang luhur untuk menyimpan kebohongan.
Bentuk-bentuk penipuan yang
terkandung di dalam tradisi dan hal-hal yang mengitarinya kerap diwariskan
melalui pendidikan. Dalam arti ini, pendidikan pun juga hanyalah sebuah
penipuan. Pendidikan berubah menjadi pelatihan orang, supaya menjadi patuh dan
dangkal. Tanpa sikap kritis pada pengandaian-pengandaiannya sendiri, pendidikan
berubah menjadi pewaris kebohongan dan kesalahan berpikir.
Sikap Curiga yang Sehat
Di dalam hidup, kita perlu untuk
berpikir kritis. Pertama-tama, kita perlu kritis pada pikiran kita sendiri,
yakni pada prasangka dan anggapan-anggapan salah yang kita pegang selama ini.
Kita perlu mempertanyakan tradisi yang kita hidup, dan kebiasaan yang kita
lakukan sehari-hari. Kita perlu memiliki rasa curiga yang sehat, tidak hanya
terhadap hal-hal di sekitar kita, tetapi juga pada pikiran kita sendiri.
Dari sikap kritis, lalu kita
belajar untuk berpikir mandiri. Kita mengambil jarak dari pengaruh-pengaruh di
sekitar kita, dan melihat ke dalam diri kita sendiri. Dari pikiran yang mandiri,
lalu kita belajar untuk membuat keputusan sendiri. Dengan sikap ini, kita bisa
terhindar dari penipuan-penipuan di sekitar kita, dan mulai membuat keputusan
secara mandiri di dalam hidup kita.
Dengan sadar, bahwa banyak hal
di sekitar kita itu menipu, kita lalu mulai bisa mencari makna yang sejati
untuk hidup kita sendiri. Kita bisa mulai membangun harapan, tidak hanya untuk
diri kita sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa kita. Kita bisa
melawan segala kesalahan berpikir dan tradisi yang menindas. Bukankah hidup
semacam ini yang kita semua inginkan?
No comments:
Post a Comment