Keutamaan Antri
Antri adalah tanda dari kesabaran. Jelas, orang antri
perlu untuk sabar. Orang perlu menunggu, sampai gilirannya tiba. Dalam
hidup, orang pun juga perlu untuk sabar. Ia perlu menunggu, kapan
gilirannya untuk maju tiba, sambil sebelumnya mempersilahkan orang yang
ada terlebih dahulu untuk maju. Semua ada waktunya. Sabar..
Antri adalah tanda kemampuan manusia untuk berproses.
Ketika antri, orang harus menjalani proses menunggu, terkadang cukup
lama, supaya bisa mendapatkan kebutuhannya. Dalam hidup, orang pun harus
berani berproses. Untuk menjadi pintar dan sukses, orang perlu berproses
dengan belajar dan berusaha. Orang yang tidak mau berproses, maunya
cepat pintar dan cepat kaya, biasanya terjebak dalam korupsi, dan
merugikan banyak orang dengan tindakannya.
Antri adalah
tanda bagi kreativitas, yakni kreativitas untuk mengisi waktu luang.
Ketika antri, kita punya banyak waktu kosong. Kita bisa mengisinya
dengan bengong, atau dengan tindakan-tindakan bermutu, seperti membaca
misalnya. Sehingga membuat
waktu berjalan lebih cepat dan waktu menunggu antrianpun tidak terasa
terlalu lama.
Dalam hidup, kita juga punya banyak waktu luang.
Sepulang kerja, apa yang kita lakukan? Apakah kita sibuk ngegosip
tentang hal-hal tak bermutu dengan teman-teman kita, atau kita membaca?
Apakah kita sudah menghabiskan waktu luang kita dengan orang-orang yang
sungguh kita cintai? Apakah kita sudah kreatif menghabiskan waktu kosong
kita, sehingga bisa menjadi waktu yang baik untuk mengembangkan diri,
dan membantu orang lain?
Pada level yang lebih dalam, antri adalah simbol dari
keadilan. Orang kaya ataupun orang miskin harus antri, tidak ada
perkecualian. Orang cantik ataupun orang “kurang” cantik, seturut dengan
ukuran tertentu, harus antri, juga tidak ada perkecualian. Kalau mau
dilayani lebih cepat, anda harus datang terlebih dahulu, juga tidak ada
perkecualian.
Dilihat seperti ini, antri adalah simbol kesetaraan.
Semua orang menjadi setara, ketika mereka sedang antri. Tidak ada raja,
tidak ada ratu, yang sukanya menyerobot antrian, karena mereka merasa
dirinya lebih tinggi. Keadilan dan kesetaraan antar manusia adalah
konsep penting, yang bisa menjamin terciptanya hidup bersama yang damai.
Keteraturan
Sikap menciptakan keteraturan,
inilah yang perlu untuk kita teladani bersama. Dengan
adanya keteraturan, suasana damai bisa tercipta dan terjaga. Orang tak
perlu bertengkar, karena mereka merasa diperlakukan tidak adil, karena
tidak adanya keteraturan. Orang bisa memperoleh kebutuhannya dengan hati
tenang, karena ia percaya, bahwa dengan menunggu dan bersabar, ia akan
memperoleh kebutuhannya dengan pasti.
Keteraturan menghadirkan rasa percaya. Rasa percaya
menghasilkan kenyamanan hidup. Bukankah kita semua ingin hidup dengan
nyaman, yakni diperlakukan dengan adil dan percaya, bahwa kebutuhan kita
akan terpenuhi, jika kita mau belajar, berusaha, dan antri? Jika mau
hidup dengan nyaman dan damai, belajarlah bersama-sama untuk antri.
Tidak ada jalan lain.
Di Indonesia, sejauh ini orang antri malah
memperoleh ketidakadilan dan kekecewaan.
Sulit Antri?
Ada banyak penyebab. Yang paling utama adalah tidak
adanya aturan yang kuat. Tidak adanya penjaga aturan yang tegas dan
berani. Akhirnya, orang menyerobot bagaikan orang biadab, karena ia
tahu, ia tidak akan dihukum. Tidak ada sistem yang menjamin, bahwa orang
yang antri dengan baik akan memperoleh kebutuhannya dengan adil.
Aturan lalu dikangkangi oleh uang dan kekuatan koneksi.
Jika kamu anak jendral, maka kamu bisa memotong jalur
Trans-Jakarta-bussway, dan kabur dari kemacetan. Jika kamu punya uang
banyak, dan bersedia membayar lebih, kamu bisa memotong antrian
langsung. Diskriminasi atas dasar uang dan kekuatan koneksi inilah yang
membuat sikap antri, yang amat penting untuk perdamaian dan kenyamanan
hidup, menjadi sulit di Indonesia.
Bahkan, tidak perlu uang dan koneksi, selama orang
berani teriak-teriak ngotot di hadapan umum, ia pun bisa memotong
antrian. Artinya, selama orang tidak punya malu, dan bersikap bagaikan
orang tak berpendidikan, ia malah bisa memotong antrian. Jarang ada yang
mau menegur, bahkan petugas resmi yang harusnya menegakkan aturan.
Aturan memang ada, namun tak ada yang menghormati dan mematuhinya,
karena mereka tahu, aturan itu dengan mudah dilanggar dengan uang,
koneksi, atau bahkan sikap tak beradab dalam bentuk teriak-teriak di
depan umum layaknya orang gila.
Tanpa adanya aturan yang berlaku, orang hidup dalam
ketidakpastian. Ketidakpastian menciptakan ketakutan. Ketakutan
mendorong orang untuk melakukan hal-hal jelek, misalnya bertengkar,
memaki-maki di depan umum, atau korupsi. Ketakutan pulalah yang
mendorong orang untuk menyuap, mencuri, dan korupsi.
Antri dan Demokrasi
Uang memang penting. Namun, uang bukan segalanya. Michael Sandel, di dalam bukunya yang berjudul Was man für Geld nicht kaufen kann: Die moralischen Grenzen des Marktes,
menyatakan dengan tegas, bahwa antri adalah tindakan etis di dalam
masyarakat demokratis, yang tidak bisa digantikan dengan apapun juga.
Orang kaya pun harus antri, walaupun ia punya uang, guna memotong
antrian yang ada. Uang menurunkan kualitas moral suatu tindakan, dan
bahkan menjadikannya buruk, begitu kata Sandel. (Sandel, 2012)
Di dalam masyarakat demokrasi, kata Sandel, ada hal-hal
yang tidak bisa, dan tidak boleh, dibeli dengan uang. Salah satunya
adalah antri. Demokrasi membutuhkan warga negara yang memiliki budaya
antri. Dengan antri, orang bisa memperoleh kebutuhannya dengan nyaman
dan damai. Tidak perlu ada ketakutan dan konflik. Tidak perlu ada
diskriminasi dan ketidakadilan.
Lebih dari itu, antri adalah syarat untuk kebersamaan.
Budaya antri juga bisa dilihat sebagai tanda, bahwa saya mengakui
keberadaan orang lain.
Antri memang tindakan kecil dan sederhana. Namun,
maknanya sangat mendalam. Kita perlu belajar antri, kalau kita mau hidup
bersama secara nyaman dan damai dengan orang lain. Tak ada pilihan
lain. TITIK
No comments:
Post a Comment