Tuesday, December 31, 2013

"M L A R A T"



Kemiskinan merupakan salah satu masalah terbesar dunia sekarang ini. Banyak orang hidup dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Akibatnya, mereka terancam oleh kekurangan gizi, penyakit, dan beragam penderitaan hidup lainnya. Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia, tetapi juga mengancam jiwanya.

Ketika manusia kekurangan gizi, karena tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh makanan yang layak, ia terancam oleh dua hal. Pertama adalah oleh penyakit dan berbagai bentuk kelemahan biologis manusia lainnya. Kedua adalah dirinya sendiri, yakni insting bertahan hidup manusia yang bisa mendorongnya untuk melakukan apapun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak terhadap orang lain, untuk mempertahankan hidupnya.

Kemiskinan, dengan demikian, merusak rajutan hidup sosial kita sebagai manusia. Kemiskinan memecah masyarakat. Ia menciptakan musuh, dan mengubah kawan menjadi lawan. Ia menggetarkan stabilitas hidup sosial manusia. Terlebih, ia merusak harkat dan martabat manusia dan masyarakat itu sendiri.

Akibatnya, kemiskinan menjadi sumber bagi tindak kekerasan. Ideologi hanya digunakan untuk membakar kebencian yang sudah ada, akibat kemiskinan dan ketidakadilan. Orang yang hidup dalam ancaman kekurangan gizi dan penghinaan akibat kemiskinan amat mudah untuk diperalat untuk tujuan-tujuan jahat. Kemiskinan adalah hantu dunia sekarang ini yang perlu untuk dihadapi dan ditaklukan.

Kemiskinan memiliki beragam bentuk. Yang paling dasar adalah kemiskinan ragawi, yakni ketika orang, walaupun sudah bekerja keras, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang memiliki martabat. Yang lain adalah kemiskinan cara berpikir, yakni ketika orang tidak mampu menemukan cara-cara yang baik dan tepat, guna memperoleh sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keduanya jelas terkait erat dengan kultur dan cara hidup tertentu.

Penyebab
Banyak orang mengira, bahwa akar dari kemiskinan adalah kemalasan pribadi. Artinya, orang miskin, karena ia malas bekerja, karena ia tidak cerdas, dan sebagainya. Walaupun memiliki kebenaran sendiri, hemat saya, pandangan ini sesat, dan harus segera ditanggapi secara kritis. Kemalasan dan kebodohan pribadi hanya sebagian kecil dari akar masalah yang melahirkan kemiskinan dalam berbagai bentuknya di berbagai belahan dunia.

Sebab lainnya yang lebih memiliki pengaruh kuat adalah kemiskinan struktural. Artinya, tata sosial, politik, dan ekonomi yang ada membuat orang, mau tidak mau, hidup dalam kemiskinan. Orang bisa bekerja keras, membanting tulang, dan menabung, namun ia tetap hidup dalam kemiskinan. Seolah, kemiskinan adalah takdir yang tak bisa ditolak.

Di dalam sosiologi, keadaan ini disebut sebagai stratifikasi sosial tertutup. Di dalam masyarakat dengan stratifikasi sosial tertutup, orang yang lahir dalam keluarga miskin akan sulit keluar dari kemiskinannya. Ia seolah tak punya pilihan lain, selain menjalani keadaan yang sudah diberikan kepadanya. Biasanya, keadaan ini dibarengi dengan sistem pendidikan yang kesehatan masyarakat yang rusak, entah karena harganya begitu mahal, sehingga tak terjangkau banyak orang, atau mutunya yang jelek.

Dua hal ini bisa muncul, karena pemerintah yang berkuasa salah membuat kebijakan. Kesalahan ini berakar setidaknya pada dua hal, yakni kurangnya data dan kemampuan untuk merumuskan strategi penyejahteraan rakyat, atau tidak adanya kehendak politik yang kuat untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Yang pertama agak tidak mungkin di era globalisasi ini, ketika informasi dan pengetahuan tersebar begitu luas dan amat mudah untuk diperoleh. Akar kedua yang lebih sering tampak di negara-negara yang gagal menyejaterahkan rakyatnya.

Peran kultur dan etnic juga besar di dalam kemiskinan. Budaya tertentu melahirkan mentalitas yang korup, sehingga masyarakat sulit keluar dalam kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, korupsi menjadi penyebab utama kemiskinan. Ketika dana pembangunan diambil untuk membeli mobil dan rumah mewah bagi para pejabat pemerintah, masyarakat yang menderita. Ketika dana untuk membangun sekolah dan menggaji guru dipakai oleh para pejabat negara untuk jalan-jalan keluar negeri, masyarakat yang menderita. Di Indonesia, korupsi bagaikan kanker ganas yang menggerogoti segi-segi kehidupan berbangsa, dan menjadi pelestari kemiskinan.

Faktor lainnya adalah campur tangan asing di dalam penciptaan dan pelestarian kemiskinan. Krisis ekonomi di negara-negara besar, seperti AS dan Uni Eropa, membawa dampak jelek bagi seluruh dunia. Embargo ekonomi dari negara-negara besar terhadap negara tertentu juga menjadi penyebab kemiskinan. Di era globalisasi ini, sulit bagi satu negara untuk menyejaterahkan rakyatnya, jika ia tidak mau bekerja sama dengan negara-negara lainnya, terutama negara-negara dengan kekuatan politik dan ekonomi yang perkasa.

Melampaui Kemiskinan
Maka, pandangan yang menyatakan, bahwa kemiskinan adalah akibat dari kemalasan pribadi, adalah pandangan yang salah besar. Ini adalah pandangan yang biasa muncul dari orang-orang yang berasal dari keluarga kaya, dan seumur hidupnya tidak pernah berusaha memahami dunia sekitarnya. Pandangan semacam ini justru melestarikan kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang sudah terjadi. Dengan kata lain, pandangan semacam ini justru memiskinkan.

Mahatma Gandhi pernah merumuskan tujuh dosa sosial. Salah satunya adalah kekayaan, tanpa kerja keras, misalnya karena warisan, menipu, atau korupsi. Saya ingin menambahkan setidaknya satu dosa sosial lainnya, yakni kemiskinan, walaupun orang sudah bekerja keras. Kemiskinan struktural adalah dosa sosial yang harus diakhiri.

Cara paling ampuh untuk memerangi kemiskinan adalah menciptakan kesamaan kesempatan untuk setiap orang (die gleichen Gelegenheiten). Artinya, setiap orang, apapun ras, jenis kelamin, ataupun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan tanpa biaya, atau setidaknya amat murah. Disini, pendidikan, seperti dinyatakan oleh Anies Baswedan, adalah tangga sosial untuk naik ke tingkat ekonomi maupun sosial yang lebih tinggi. Kesetaraan kesempatan bukanlah kesetaraan mutlak (absolute Gleichheit), dimana setiap orang diperlakukan secara sama, tanpa peduli perbedaan mereka.

Saturday, November 16, 2013

IDEOLOGI yang MERUSAK



Saya yakin, anda pasti melihat dunia sebagai tempat yang baik-baik saja, walaupun masalah dan penindasan bersembunyi di balik kenyataan sehari-hari. Orang hidup dengan nyaman, walaupun di depan matanya, penindasan dan penderitaan terjadi setiap harinya, tanpa celah.

Politik
Dua ideologi yang menjangkiti dunia politik kita adalah: ideologi kerakusan dan ideologi apatisme. Ideologi kerakusan adalah suatu bentuk kesalahan berpikir yang menyatakan, bahwa politik adalah arena untuk mencari uang dan kekuasaan. Orang menjadi walikota atau anggota DPR bukan untuk mengabdi pada kebaikan bersama, melainkan untuk menjadi kaya dan terkenal di masyarakat. Ideologi kerakusan ini yang menjadi kanker politik dan menghancurkan kehidupan politik kita di Indonesia.

Ideologi apatisme adalah kesalahan berpikir yang menyatakan, bahwa politik adalah urusan pemerintah semata. Warga negara biasa tidak perlu ikut campur. Serahkan semua urusan pada yang berwewenang. Ideologi ini salah total, karena membiarkan urusan politik dimonopoli oleh segelintir orang yang seringkali rakus (ideologi kerakusan) dan korup. Kontrol sosial atas politik adalah persyaratan utama dari masyarakat yang beradab, dimana warganya peduli dan ambil bagian dalam politik.

Ekonomi
Ekonomi Indonesia juga mengalami penyakit ideologi, yakni ideologi pasar bebas dan ideologi ilusi. Ideologi pasar bebas adalah bentuk kesalahan berpikir, dimana peraturan untuk mengatur kinerja ekonomi dianggap sebagai hambatan yang buruk untuk ekonomi. Di dalam ideologi ini, pasar haruslah dibiarkan bebas, sehingga tercipta hukum pasar yang membawa kebaikan bagi semua. Ideologi langsung ambruk di mata pengalaman empiris, bahwa negara-negara yang mengaku menggunakan pasar bebas justru memiliki banyak aturan untuk melindungi ekonomi negaranya (AS dan Inggris), dan negara-negara yang sungguh menggunakan pasar bebas justru terus diterjang krisis ekonomi yang berkepanjangan (negara-negara di Sub-Sahara Afrika).
Ideologi kedua yang menjangkiti ekonomi Indonesia adalah ideologi ilusi, dimana ekonomi dianggap semata-mata sebagai pergerakan uang yang pucat, tanpa wajah dan hati nurani. Ukuran kemakmuran lalu adalah pendapatan per kapita dan Gross Domestic Bruto, yang kerap kali adalah angka-angka pucat yang menyembunyikan banyak penindasan, ketidakadilan dan kesalahpahaman di belakangnya. Ekonomi sejatinya adalah urusan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa manusia. Percuma angka-angka statistik tinggi, tapi orang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kultur dan Prasangka
Ideologi juga menjadi kanker yang menggerogoti kultur di Indonesia. Dalam arti ini, kultur tidak hanya berarti budaya, melainkan sebuah cara hidup tertentu yang dianut oleh sekelompok orang. Cara hidup semacam ini mengandaikan adanya pandangan dunia tertentu yang menjadi latar belakang sekaligus tolak ukurnya. Dalam artinya yang paling negatif, dua hal ini lalu berubah menjadi prasangka atas sekelompok orang tertentu, dan prasangka tidak pernah bisa dilepaskan dari ideologi.

Ada satu ideologi dalam konteks ini yang berakar begitu dalam pada cara pandang orang Indonesia dan juga dunia internasional pada umumnya, bahwa negara kita miskin dan ketinggalan, karena kemalasan orang-orangnya. Kemalasan ini lahir dari mentalitas yang memang sudah melekat pada diri orang Indonesia. Tidak ada ideologi yang lebih jahat dan salah dari pada ini. Fungsi filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya di Indonesia adalah untuk mengubur dalam-dalam cara berpikir semacam ini.

Tuesday, November 12, 2013

Pendidikan yang POLITIS



Apakah yang perlu diperbaiki supaya Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih baik? Adalah pendidikan. Itulah yang pasti jawaban yang akan dikemukakan oleh mayoritas masyarakat. Mereka berpikir, ketika semua orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan bermutu, maka kemampuan sumber daya manusia akan meningkat, dan ini akan bisa memperbaiki situasi Indonesia. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah, pendidikan macam apa yang kita perlukan?

Pendidikan Apolitis
Jawaban yang seringkali muncul ialah, pendidikan sains dan pendidikan moral. Kemudian Pendidikan sains disamakan dengan pendidikan fisika, matematika, kimia, dan biologi. Sementara, pendidikan moral disamakan dengan pendidikan agama. Pada konsep inilah yang saya kurang setujui.
Pendidikan sains, dengan beragam cabangnya, tentu diperlukan. Pendidikan moral dan pendidikan agama tentu juga diperlukan. Namun, cara mengajarnya harus diubah. Dengan kata lain, paradigma mengajarnya harus diubah, sehingga bahan yang diajarkan juga ditafsirkan dengan cara yang sama sekali baru.
Pada hemat saya, pendidikan Indonesia sedang sakit, dan penyakit yang diderita adalah penyakit apolitis (eine apolitische Bildung). Apolitis berasal dari dua kata a, yang berarti anti, atau tidak/tanpa, dan politik, yang berasal dari bahasa Yunani kuno, Politikos, yang berarti segala sesuatu yang terkait dengan warga negara. Pendidikan yang apolitis berarti pendidikan yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal kewarganegaraan.
Artinya, pendidikan terputus dari keprihatinan sosial politik. Ia hanya terfokus pada soal ketrampilan untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan. Ia hanya terfokus untuk mengabdi pasar dan agama, dan tidak pernah mempertanyakan peran pasar dan agama tersebut. Pendidikan seolah-olah adalah barang netral yang tak ada hubungannya dengan pertarungan sosial politik di luar kelas. Inilah penyakit pendidikan kita di Indonesia.

Krisis Pendidikan
Pendidikan juga hanya dilihat sebagai hubungan antar murid dan guru, seolah masyarakat di luar tak mempengaruhi proses pendidikan di dalam kelas. Penelitian-penelitian di dalam ilmu pendidikan pun mengabaikan pengaruh keadaan sosial politik yang ada di luar kelas. Ia menjadi penelitian yang netral dan basi, serta nyaris tak berguna, karena tak bisa menangkap kenyataan yang ada dari proses politik dan kekuasaan di luar kelas yang juga mempengaruhi dunia pendidikan.
Di sisi lain, pendidikan juga menjadikan segala bentuk tes sebagai ukuran dan tujuannya. Singkat kata, orang belajar, supaya ia bisa lulus tes. Titik. Sehingga menjadi tujuan utama pendidikan. Pendidikan menjadi begitu sempit dan dangkal, karena mengabaikan kekayaan sekaligus kerumitan diri manusia. Ia juga menjadi impoten, karena mengabaikan pengaruh sosial politik yang ada.
Konsep tes pun lalu juga disempitkan semata sebagai sebuah upaya untuk memuntahkan ulang apa yang telah dikatakan oleh guru dan buku. Seorang anak dianggap murid yang baik, ketika ia bisa membeo apa kata buku, atau apa kata gurunya. Tes lalu menjadi proses cuci otak. Pendidikan semacam ini tidak akan pernah memperbaiki keadaan Indonesia, melainkan justru memperparah kerusakan moral dan politik yang ada.

Sikap Kritis dan Kreativitas
Pendidikan yang apolitis ini juga membunuh sikap kritis. Padahal, sikap kritis sangat diperlukan, supaya orang bisa peka pada keadaan yang salah, lalu berusaha mempertanyakan dan memperbaikinya. Sikap kritis juga diperlukan, supaya orang bisa memilih pemimpin yang baik, terutama menjelang pemilu 2014 nanti. Dengan kata lain, sikap kritis adalah prasyarat dari warga negara yang baik di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia. Apalagi sebagai kodrat manusia, kita dibekali pikiran untuk bertafakur.
Pendidikan yang inhumanis (unmenschliche Bildung) juga mengancam kreativitas berpikir. Padahal, kreativitas adalah kunci dari kemajuan budaya dan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan yang inhumanis, sejauh saya mengerti, juga berarti pendidikan yang apolitis, yakni pendidikan yang mengabaikan pengaruh sosial politik. Pendidikan yang apolitis juga menghancurkan kreativitas itu sendiri.
Pendidikan yang apolitis adalah pendidikan yang tidak relevan. Ia menciptakan robot-robot patuh yang tidak mampu berpikir kritis dan kreatif. Ia juga menghasilkan robot-robot yang mampu menghafal buku dan kata-kata guru, tetapi tidak mampu membuat terobosan yang penting bagi perkembangan budaya, seni, dan teknologi itu sendiri. Tak heran, di Indonesia, penemuan amat sedikit, karena kreativitas dan sikap kritis, yang merupakan kunci dari terobosan baru, dibunuh oleh dogma budaya, dogma agama dan sikap apolitis dari birokrasi pendidikan.
Pendidikan yang apolitis, pada akhirnya, membunuh peradaban itu sendiri, dan hal-hal yang membentuk peradaban itu, seperti budaya, seni, dan ekonomi. Pendidikan politis menjadi noda bagi peradaban. Ia menciptakan ahli yang tak punya rasa kemanusiaan dan kepedulian pada keadaan masyarakatnya. Ia menghasilkan manusia-manusia arogan, tanpa cita rasa dan hati nurani.

Pendidikan yang Politis
Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang tanpa hati nurani. Ini terjadi  karena pendidikan sains dan teknologi diputus dari analisis sosial politik di luar kelas, yang menghasilkan keprihatinan pada keadaan masyarakat yang ada. Ketika ilmu pengetahuan kehilangan hati nurani, maka ia berubah wujud menjadi senjata untuk memanipulasi manusia dan menghancurkan alam, tempat manusia hidup.
Pendidikan yang apolitis juga menjadi tempat untuk melestarikan beragam bentuk ketidakadilan yang ada, mulai dari diskriminasi sampai dengan kesenjangan sosial yang besar antara yang kaya dan miskin. Pendidikan yang apolitis membuat siswa menjadi tidak peka pada keadaan yang ada di depan matanya. Ia membuat pendidikan menjadi steril, dan karena itu juga melestarikan, dan juga memperbesar, masalah-masalah sosial yang ada.
Oleh karenanya pendidikan harus punya peran yang kritis terhadap keadaan sosial politik masyarakat. Di dalam kelas, anak diajak untuk berpikir dan berdiskusi terkait dengan persoalan-persoalan politik yang ada di luar kelas. Bahkan akan sangat baik, jika anak diajak terlibat langsung dalam satu gerakan sosial, dan melakukan aksi bersama, entah demonstrasi atau kampanye atas satu isu sosial yang dianggapnya penting.
Pendidikan harus menjadi kegiatan untuk merefleksikan keadaan politik yang ada di luar kelas. Ia mengubah siswa sungguh menjadi warga negara yang terlibat. Ia mempertanyakan krisis dan masalah-masalah sosial yang ada, serta berusaha mengusahakan alternatif jalan keluar yang mungkin. Dalam konteks ini, pendidikan berperan aktif di dalam proses perubahan sosial masyarakat.
Jadi, percuma kita memperbaiki strategi dan metode mengajar guru di kelas dengan model-model yang baik, ketika situasi sosial politik dan ekonomi masyarakat di luar kelas kacau balau. Dengan kata lain, percuma kita memotivasi guru, jika di luar kelas sedang terjadi perang dan konflik yang mengacaukan masyarakat. Maka, kata Anyon, pendidikan harus berbicara soal keadaan sosial politik masyarakat, karena pendidikan tidak pernah bisa dilepaskan dari faktor-faktor sosial politik yang ada.
Pendidikan harus membangkitkan kesadaran politis (politisches Bewusstsein) siswa sebagai warga negara suatu komunitas politis. Apapun yang terjadi di dalam komunitas itu juga akan mempengaruhi dirinya. Maka, ia tidak boleh pasif menunggu, melainkan sebaliknya, aktif turut terlibat sesuai dengan bidangnya di dalam perubahan sosial tersebut.

Bukan dipolitisir.
Pendidikan yang memiliki aspek politis bukanlah pendidikan yang dipolitisir. Yang terjadi di Indonesia adalah, pendidikan justru dijadikan proyek politik untuk melakukan korupsi, kolusi, maupun nepotisme antar pejabat negara dan perusahaan-perusahaan bisnis, mulai dari perusahaan alat tes sampai dengan penjual kertas. Pendidikan yang bersifat politis justru hendak secara kritis mempertanyakan praktek-praktek pendidikan yang dipolitisir tersebut.
Beberapa contoh mungkin bisa memperjelas. Ketika mengajar biologi, kita tidak hanya berdiskusi soal sistem pencernaan hewan, tetapi mengapa hewan-hewan tertentu punah dari muka bumi ini, dan apa peran manusia di dalam proses itu. Ketika mengajar soal gizi dan pertanian, kita tidak hanya berdiskusi soal bibit unggul, tetapi juga mengapa petani hidup miskin di Indonesia, dan apa yang bisa kita lakukan tentang masalah itu. Ketika mengajar soal ekonomi dan akuntansi, kita tidak hanya sibuk mengajarkan pembukuan terbuka atau tertutup, tetapi bagaimana perusahaan-perusahaan milik negara dan swasta di Indonesia membuat pembukuan ganda, guna menipu masyarakat luas.
Inilah esensi pendidikan politis. Ketika semua mata pelajaran dan sekolah menggunakan paradigma pendidikan politis ini, maka langkah untuk memperbaiki Indonesia bisa segera dimulai. Siswa menjadi warga negara yang peka dan mau terlibat di dalam pelbagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah bangsa.

Thursday, October 10, 2013

G O S I P .....



Sekarang ini di Indonesia, sikap beradab diancam oleh mentalitas dan kultur gosip yang bersifat menghancurkan. Orang lebih percaya gosip, daripada menggunakan akal budinya untuk berpikir sendiri, dan kemudian membuat keputusan. Akal budi dipasung oleh kemalasan dan kebodohan. Di balik rasa nikmat yang ditimbulkannya, gosip secara perlahan tapi pasti menghancurkan kepercayaan (trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama.


Anatomi Gosip
Mengapa dan dari mana gosip itu muncul? Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lugas tanpa terjebak pada kesesatan. Di dalam proses untuk mencapai kebenaran, manusia seringkali dihalangi oleh idola-idola. Saya ingin mengajukan argumen, bahwa gosip tersusun dari idola-idola yang menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.

Ada empat macam bentuk idola (Bacon). Yang pertama adalah idola tribus, yakni kecenderungan manusia untuk melihat adanya tatanan di dalam sistem lebih daripada apa yang sebenarnya ada. Idola tribus menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.

Yang kedua adalah idola cava, yakni kecenderungan orang untuk menilai orang lain ataupun suatu peristiwa dengan berdasar pada sentimen pribadi, dan bukan dengan kejernihan akal budi. Idola cava juga menjauhkan manusia dari kebenaran.

Yang ketiga adalah idola fori, yakni kebingungan yang diciptakan, karena orang tidak memahami makna bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi sehari-hari. Akibatnya orang terjebak di dalam kesalahpahaman. Bahasa memang menjadi elemen kunci di dalam komunikasi. Jika orang tidak mampu berbahasa ataupun memahami makna bahasa yang digunakan secara tepat, maka komunikasi untuk mencapai kesepakatan akan sulit tercipta. Kebenaran pun semakin jauh dari genggaman tangan.

Yang keempat adalah idola theatri, yakni bangunan pemikiran ataupun teori yang dibentuk oleh pendekatan yang tidak tepat. Sehingga keyakinan ataupun pemikirannya didasarkan pada pendekatan yang sifatnya satu arah, karena mengabaikan fakta.  Idola theatri menghalangi manusia untuk sampai pada kebenaran. Keempat idola ini dirumuskan oleh Bacon di dalam bukunya yang berjudul Novum Organum (1620).

Ia memang hanya membatasi dirinya pada perumusan metode saintifik yang dapat menjamin kebenaran dari pengetahuan yang didapat. Baginya seorang ilmuwan haruslah membersihkan dirinya dari idola-idola yang menghalangi pikirannya untuk mencapai kebenaran. Namun saya merasa bahwa argumen Bacon tidak hanya cocok untuk para ilmuwan, tetapi juga untuk semua orang, terutama mereka yang pikiran dan tindakannya dipengaruhi oleh gosip, sehingga mereka tidak mampu menemukan kebenaran! Mereka perlu untuk membersihkan pikiran mereka dari idola-idola!

Membedakan Ruang Publik dan Ruang Privat
Kehidupan sosial manusia terdiri dari dua bentuk ruang, yakni ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat untuk membicarakan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan bersama. Misalnya masyarakat membicarakan tentang bagaimana menangani korban gempa, memerangi korupsi, memilih presiden, dan sebagainya. Ruang publik adalah ruang politis.

Di sisi lain masyarakat juga mengenal adanya ruang privat. Ruang privat adalah tempat bagi setiap pribadi untuk mengembangkan diri dan bertindak sesuai dengan dorongan pribadinya, tanpa perlu ada campur tangan dari orang lain. Misalnya saya ingin tidur terbalik, saya ingin punya lebih dari satu, atau saya makan sayur yang dicampur dengan buah. Semua itu adalah urusan privat. Orang lain tidak boleh dan tidak berhak untuk mencampurinya!

Dalam arti ini gosip adalah publikasi ruang privat. Artinya segala sesuatu yang sebenarnya urusan pribadi kini menjadi bahan pembicaraan publik. Gosip adalah pelanggaran atas privasi!

Masyarakat yang beradab mengenal betul pembedaan antara ruang publik dan ruang privat. Kedua ruang itu tidak boleh dicampurkan. Sebaliknya masyarakat yang tidak beradab mencampurkan keduanya begitu saja. Masyarakat gosip adalah masyarakat yang menjadikan urusan privat sebagai urusan publik. Masyarakat gosip adalah masyarakat yang tidak beradab!

Jika ingin menjadi bangsa yang beradab, orang Indonesia perlu untuk mencegah publikasi ruang privat. Orang Indonesia perlu untuk menghormati privasi setiap orang. Orang Indonesia juga perlu untuk membicarakan masalah publik dalam konteks debat yang rasional. Ruang publik bukanlah ruang gosip, melainkan ruang untuk mencapai keadilan bagi kehidupan bersama. Gosip harus dimusnahkan!

Gosip juga seringkali mencemari nama baik seseorang. Sebuah fakta dipelintir sedemikian rupa, sehingga kebenaran tidak lagi terkandung di dalamnya. Akibatnya reputasi seseorang 
 menjadi jelek di mata masyarakat!

Berfikir ilmiah sebagai Anti Gosip
 Berfikir Ilmiah merupakan suatu pemikiran atau tindakan seorang manusia yang menggunakan dasar-dasar dan ilmu tertentu. Sehingga ide tersebut dapat diterima orang lain. Berpikir ilmiah juga harus melalui proses yang panjang dan benar karena akan menyangkut kebenaran. Dalam berpikir ilmiah seseorang harus memperhatikan dasar-dasarnya. Yang didalamnya menyangkut apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana. Biasanya hal itu digunakan untuk mencari rumusan masalah dan mencari solusi atau kesimpulan suatu masalah

Jika ditempatkan secara tepat, prinsip berfikir ilmiah mampu mencegah kita mengambil kesimpulan yang searah dan jauh dari kebenaran. Berfikir ilmiah mengajak kita untuk bersikap obyektif di dalam membuat keputusan. Jika orang menerapkan prinsip ini di dalam hidupnya, ia tidak akan dibingungkan oleh gosip. Jika masyarakat menerapkan prinsip ini sesuai konteksnya, maka mereka akan menjadi masyarakat yang beradab.

Memang pada akhirnya kehidupan manusia baru berharga dan bermakna, jika diarahkan untuk mencapai kebenaran. Di dalam kebenaran manusia akan menemukan kebahagiaan. Kebenaran yang mungkin awalnya menyakitkan, tetapi secara perlahan akan menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia yang otentik. Sikap hidup yang semakin jarang ditemukan di masyarakat kita sekarang ini.

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...