Tuesday, October 8, 2019

Antagonis - Politik


Antagonis - Politik

Faktor Penyebab
Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahatan. Ketiganya adalah satu, dan bisa disebut sebagai sebagai tritunggal antagonis-politik. Dalam arti ini, antagonis- politik adalah kehendak untuk menghancurkan kebaikan bersama melalui cara-cara korup dan licik. Antagonis- politik adalah ancaman terbesar dunia saat ini.

Feodalisme, salah satu pilar antagonis- politik, adalah paham yang menempatkan manusia ke dalam ukuran-ukuran buatan penguasa. Ada kelas bangsawan dengan segala hak-haknya yang semu. Ada kelompok rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan. Feodalisme membelah masyarakat secara tak adil dan biadab, serta mengancam keutuhan hidup bersama.

Feodalisme melihat keadaan tak adil ini sebagai sesuatu yang alami. Bahkan, trah kebangsawanan politik/ keturunan  kerap digunakan untuk membenarkan keadaan yang busuk ini. Tak heran, di masyarakat feodal, pengelompokan kelas-kelas sosial menjadi sedemikian penting, bahkan mengaburkan akal sehat. Ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan begitu tersebar berbarengan dengan mewahnya rumah-rumah pejabat, sekaligus kayanya para penguasa pemerintahan.

Feodalisme melahirkan penyebab kedua, yakni politik dinasti. Politik dinasti terfokus pada tokoh-tokoh tertentu di dalam keluarga yang sama untuk memegang kekuasaan. Seperti pada masa kerajaan, kekuasaan politik dan ekonomi diturunkan dari orang tua ke anak. Feodalisme amat merusak dalam dua hal.

Pertama, politik dinasti membunuh meritokrasi. Meritokrasi menekankan kemampuan orang untuk menduduki posisi yang tepat, baik di dalam politik maupun bisnis. Hubungan keluarga dan pertemanan tak menjadi acuan utama. Meritokrasi adalah kunci kemajuan sebuah organisasi, baik di dalam bisnis maupun politik.

Lebih dari itu, feodalisme dan politik dinasti melindas rasa keadilan. Orang memperoleh kemudahan, hanya karena ia lahir di keluarga tertentu. Usaha tak menjadi ukuran. Di sisi lain, begitu banyak orang berusaha keras, namun gagal, hanya karena mereka dilahirkan di keluarga yang salah, bahkan baru-baru ini muncul istilah keluarga yang “pertama”

Secara keseluruhan, feodalisme dan politik dinasti menghambat kinerja organisasi. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi tersebar. Keputusan baik untuk sebanyak mungkin orang pun semakin sulit tercipta. Berbagai data menujukkan, negara dengan tingkat feodalisme dan politik dinasti yang tinggi cenderung terbelakang dalam soal kemajuan kesejahteraan rakyat, teknologi dan kebudayaan
.
Oligarki dan Banalitas
Oligarki, sebagaimana diuraikan oleh Aristoteles, adalah pemerintahan oleh orang-orang kaya. Itulah yang banyak terjadi di dunia sekarang ini, terutama di Indonesia. Para pengusaha kaya memperoleh modal mereka dari warisan, dan memasuki politik. Mereka tak peduli pada kebaikan bersama. Tujuan utama mereka adalah melindungi kekayaan ekonomi mereka yang biasanya diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Perkawinan busuk antara pengusaha dan politik ini disebut juga sebagai neoliberalisme. Dengan kekuatan uang yang begitu besar, para pengusaha memasuki dan mengendalikan politik di berbagai negara. Kebijakan yang lahir dari politik pun tak mencerminkan akal sehat serta kejernihan, melainkan hanya perpanjangan dari kepentingan busuk para pengusaha tersebut.
Pada tingkat global, perusahaan multinasional dengan modal raksasa mengendalikan kebijakan berbagai negara. Sumber daya alam dikeruk. Limbah dan sampah dibuang di negara-negara itu. Negara-negara kecil, dengan kemampuan politik dan ekonomi yang lemah, akan kerap menjadi korban.
Hal semacam ini sudah sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Karena begitu sering, maka ia sudah tidak lagi dilihat sebagai kejahatan. Ia telah menjadi banal, yakni telah menjadi bagian dari hidup sehari-hari politik global. Kejahatan telah menjadi bagian dari rutinitas.
Ketika nurani membeku, moralitas menjadi semu. Kata-kata baik digunakan untuk memikat. Namun, penerapannya nyaris tak terdengar. Sikap biadab didiamkan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Inilah keadaan politik global saat ini.

Monday, February 25, 2019

KETIDAKTAHUDIRIAN


KETIDAKTAHUDIRIAN

Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang mempunyai kesadaran tinggi untuk mengenal akan diri dan lingkungan. Hal ini dikarenakan, manusia merupakan makhluk Tuhan yang dikarunia sebuah anugerah yang besar. Seberapa tinggikah kesadaran yang kita miliki? Sudahkah anda mengenali ketidaktahuan diri sendiri? Mengapa ada orang yang tidak tahu diri?


Tidak Tahu Diri
Tidak tahu diri memiliki tujuh unsur.  Pertama, ketidaktahudirian berakar pada ketidaktahuan (Unwissenheit). Orang yang tak sadar kemampuan, lalu berlagak untuk mengambil peran besar, akan menjadi orang yang tak tahu diri. Sayangnya, saya termasuk salah satu orang yang tak kenal dirinya sendiri, sehingga tak sadar pada kemampuan diri, sehingga “berlagak” yang penuh dengan omong kosong.

Dua, ketidaktahudirian berakar pada miskinnya pengalaman. Pengalaman yang diolah akan membuat orang menjadi bijak. Biasanya, orang-orang semacam itu akan hidup sederhana dan bersahaja, walaupun mereka bermutu dan kaya raya. Orang yang tidak tahu diri itu miskin pengalaman dan kebijaksanaan, tetapi “berlagak” dalam lingkungan sosial.

Tiga, orang tidak tahu diri melajut pesat eksistensinya, karena ia pandai menjilat. Keutamaan tertingginya adalah kecerdikan “merayu”. Sehimgga kecerdikanya bermain curang di belakanglah yang dapat menutupinya dari mata masyarakat luas.

Empat, orang tak tahu diri juga suka dijilat. Mereka memilih teman tidak berdasarkan pada kemampuan maupun integritas, melainkan dari seberapa lezat jilatan yang diberikan. Mereka menciptakan gang-gang mafia di berbagai tempat yang mengikis rasa keadilan dan Kebersamaan.

Lima, orang tak tahu diri adalah orang yang takabur. Mereka ditipu oleh kisah sukses semu mereka. Kesombongan pun terpancar langsung dari tutur kata maupun tindakan. Padahal, kesombongan adalah pertanda awal dari sebuah kejatuhan.

Enam, selain takabur, ketidaktahudirian selalu bergandengan dengan kerakusan. Karena tak kenal dirinya sendiri, rasa hampa selalu datang menghantui. Rasa rakus tumbuh secara alami, dan berusaha dipuaskan dengan uang dan kekuasaan. Sayangnya, penderitaan tetap menghantui, dan rasa kosong di dalam hati tetap menggerogoti diri.

Tujuh, ketika diberikan kedudukan, orang-orang yang tidak tahu diri akan langsung menyalahgunakannya. Kekuasaan mereka tidak akan berkelanjutan, karena berpijak pada kerakusan dan kebutaan. Yang terjadi justru sebaliknya, kerugian moral, spiritual dan ekonomis akan langsung tercipta di dalam kepemimpinan mereka.

Mendidik Tahu Diri
Dua hal kiranya diperlukan, guna mencegah menyebarnya ketidaktahudirian. Pertama, unsur pendidikan yang bermutu amatlah penting disini.
Dua, Tiap diri harus berperan di dalam memberi teladan yang baik bagi lingkungan sosial.

Tulisan ini hanyalah sebuah bentuk instrospeksi akan ketidaktahuan diri.

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...