Saturday, June 21, 2014

REVOLUSI AKHLAQ



NABI MUHAMMAD SEBAGAI SEORANG PANUTAN

KETELADANAN
          Nabi saw adalah seorang yang tabah dan sabar, sehingga beliau menjadi panutan bagi manusia dalam segala aspek kehidupan baik dalam urusan dunia ataupun akhirat. Keteladanan nabi saw tidak di ragukan kebenarannya, maupun kebaikannya, karena di sampaikan nabi Muhammad saw adalah berdasarkan wahyu bukan kebohongan / omong kosong.

SIFAT SIFAT NABI MUHAMMAD SAW
1. Siddiq / siddik / sidiq / sidik
Siddiq berarti benar dan perkataan dan perbuatan. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang pembohong yang suka berbohong.
2. Amanah / Amanat
Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang pengkhianat yang suka khianat.
3. Fathonah / Fathanah / Fatonah
Fathonah adalah cerdas, pandai atau pintar. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul adalah seorang yang bodoh dan tidak mengerti apa-apa.
4. Tabligh / Tablik / Tablig
Tabligh adalah menyampaikan wahtu atau risalah dari Allah SWT kepada orang lain. Jadi mustahil jika seorang nabi dan rosul menyembunyikan dan merahasiakan wahyu / risalah Alaah SWT.

MUKJIZAT NABI MUHAMMAD SAW
Tidak ada mukjizat yang diberikan Allah kepada seorang nabi melainkan mukjizat itu pun diberikan kepada Nabi saw. secara persisi sama atau bahkan lebih hebat. Umar bin Sawad mengatakan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah berkata kepadanya, “Apa yang Allah berikan kepada para nabi maka hal itu pun diberikan kepada Nabi Muhammad saw.” Ia berkata, “Isa as. diberi mukjizat menghidupkan orang yang sudah mati.” Syafi’i berkata, “Muhammad saw. diberi mukjizat berupa rintihan batang pohon kurma yang beliau selalu berkhutbah sambil bersandar kepadanya sebelum disiapkan sebuah mimbar. Setelah memiliki mimbar, merintihlah batang kurma hingga suaranya terdengar. Rintihan ini lebih besar daripada mukjizat Isa as.” Mukjizat para nabi yang terdahulu bersifat temporal dan konkret. Mukjizat itu bisa dilihat dengan mata oleh orang yang menyaksikannya.
Jika mukjizat itu lenyap, lenyap pula dari penglihatan. Nabi Muhammad saw. diberi mukjizat seperti ini dan hal-hal luar biasa yang banyak jumlahnya. Di antara pemberian itu terbelahnya bulan, ditahannya pergerakan matahari, terpancarnya air dari sela-sela jarinya, jumlah makanan menjadi banyak, terpancarnya air, pohon yang berbicara, batang yang merintih, batu-batu dan hewan yang memberi salam, menyembuhkan orang yang sakit, dikabulkannya doa, memberikan kesegaran kepada pasukan dengan air yang sedikit, dan mukjizat lainnya yang jumlahnya banyak. Cerita tentang sebagian mukjizat itu sampai kepada kita secara qath’i, dan saya, insya Allah sebentar lagi, akan menceritakan salah satunya, yaitu terbelahnya bulan.
Mukjizat-mukjizat ini sama dengan mukjizat para nabi lainnya, yaitu bersifat temporer, walaupun Rasulullah saw. berbeda dengan nabi yang lain dalam hal banyaknya mukjizat beliau. Tapi, pengaruh mukjizat ini telah hilang setelah Nabi saw. wafat atau setelah disaksikan orang. Mukjizat itu hanya diterima oleh orang yang beriman dan merasa yakin, sehingga keimanannya menjadi bertambah. Namun, mukjizat yang hanya dimiliki oleh Rasulullah saw. dan tidak dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya, adalah mukjizat yang abadi selama manusia hidup di dunia. Yakni, Al-Qur’an Al-Karim yang tidak pernah kering mata airnya, tidak akan pernah hilang keajaibannya, dan tidak akan pernah habis manfaatnya.
Al-Qur’an ini dipelihara oleh pemeliharaan Allah dari perubahan, penggantian, dan pemalsuan, baik yang ada dalam dada manusia maupun yang ada dalam bentuk tulisan-tulisan. Al-Qur’an mengandung obat dan penyembuh, pelajaran dan hukum-hukum, kisah-kisah orang-orang sebelum kita, dan menggambarkan keadaan orang-orang setelah kita. Al-Qur’an merupakan tali Allah yang sangat kuat. Siapa pun yang beriman dan mengikutinya, maka dia beroleh petunjuk. Dan barang siapa yang meninggalkan dan melepaskan diri darinya, maka dia sesat dan binasa, merugi dan gagal. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara para nabi kecuali mereka diberi sejumlah mukjizat yang di antaranya manusia beriman kepadanya dan mukjizat yang aku terima adalah wahyu. Allah mewahyukannya kepadaku. Maka aku berharap kiranya menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih dengan lafal Muslim) Sumber: Keagungan Nabi Muhammad saw.
MENELADANI PERJUANGAN NABI DAN PARA RASUL
Rasulllah saw. adalah kepala negara Daulah Islamiyyah pertama kali. Beliau saw., selain sebagai rasulullah pembawa dan penyampai risalah, juga sebagai penguasa (hakim) yang melaksanakan hukum-hukum Islam yang beliau bawa sebagai bagian dari risalah Islam. Hukum-hukum Islam sebagian besar diturunkan di Madinah setelah Rasulullah saw. menempuh perjuangan selama sekitar 13 tahun di kota Mekkah mendakwahkan Islam kepada masyarakat Quraisy dan seluruh kabilah Arab yang setiap tahun berkunjung ke kota Mekkah. Di Madinah itulah Rasulullah saw. mendapatkan kekuasaan dari para kepala suku di kota Madinah, khususnya Aus dan Khazraj yang paling dominan dan berkuasa di Madinah. Dan syariat Islam telah diturunkan seluruhnya hingga akhir masa kehidupan beliau saw. di kota Madinah dimana wilayah kekuasaan beliau saw. telah meliputi seluruh jazirah Arab (kurang lebih 2,95 juta km persegi, lebih besar dari 3 kali luas gabungan wilayah Jerman dan Perancis ). Allah SWT berfirman:

 (لْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا )
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Rasulullah saw. wafat dalam keadaan umat dan negara Islam yang baru sangat kuat dan siap untuk memikul beban risalah menyebarkan Islam ke seluruh dunia sebagai wujud risalah yang rahmatan lil ‘alamin. Para sahabat yang jumlahnya paling tidak sekitar 60 ribu orang adalah kader-kader unggulan yang siap untuk menaklukkan dunia, membebaskan bangsa-bangsa dari belenggu penguasa yang zalim dan cara hidup jahiliyah. Sejarah pun membuktikan bahwa berbagai penaklukan Islam yang meliputi hampir 2/3 dunia lama adalah terjadi di masa sahabat rasulullah saw.
Oleh karena itu, di masa kerinduan akan kejayaan Islam dan kaum muslimin ini telah kembali mengusik pikiran dan perasaan umat , maka tidak ada metode (thariqah) perjuangan yang harus ditempuh untuk mewujudkan hal itu, kecuali mengikuti metode (thariqah) perjuangan Rasulullah saw. Sebab, secara syar’i, Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk meneladani beliau saw. Dia SWT berfirman

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..(QS Al-Ahzab [33]: 21)

Secara faktual, satu-satunya gerakan islam yang berhasil menegakkan pemerintahan yang dalam tempo singkat mencapai capaian yang luar biasa adalah gerakan yang ditempuh oleh rasulullah saw. beserta para sahabatnya. Ingat, Rasulullah saw. tidak berawal sebagai kepala negara. Beliau adalah berawal dari seorang diri, bagian kecil dari masyarakat Mekkah, lalu menjadi sebuah kelompok (kutlah), dan kemudian menjadi penguasa dengan bai’at yang diberikan oleh para pemimpin suku Aus dan Khazraj dan hijrah ke Madinah.
Apa benar Rasulullah saw. membentuk kelompok politik (kutlah siyasi)? Bukankah belum ada parlemen dan pemilu pada waktu itu? Kalau kelompok atau partai politik dimaknai sebagai peserta pemilu yang kemudian masuk parlemen dan membuat undang-undang dan mengangkat kepala pemerintahan, maka Rasulullah saw. tidak melakukan itu. Tapi kalau kelompok atau partai politik dipahami sebagai kumpulan ide (afkar) dan orang-orang yang mengimani ide-ide itu serta berjuang untuk mewujudkan ide-ide itu di tengah-tengah masyarakat, Rasulullah saw. dan para sahabat melakukan hal itu. Ketika turun firman Allah SWT :

 فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ﴾)
“Sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu….” (QS Al Hijr [15]: 94

Rasulullah saw. bersama para sahabat bersama-sama menuju ke Ka’bah dengan formasi yang belum pernah dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Mereka berbaris dalam dua barisan yang dikepalai oleh Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Mereka ber-thawaf mengelilingi Ka’bah (lihat An Nabhani, Ad Daulah al Islamiyyah hlm 15) Setelah itu Abu Bakar As Shiddiq berpidato…..Saat itu pulalah orang-orang kafir Quraisy bereaksi keras dan melakukan tindakan kekerasan terhadap dakwah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat dengan cara damai. Abu Bakar sebagai juru bicara yang berpidato saat itu langsung dipukuli sempai babak belur. Abu Bakar r.a kemudian diungsikan oleh keluarganya.Setelah kembali keluarga Abu Bakar mengatakan kalaulah Abu Bakar mendapat kecelakaan (meninggal) mereka akan membunuh ‘Utbah bin Robi’ah yang telah menyakiti Abu Bakar r.a. (lihat Ibnu Katsir al Bidayah wan Nihayah, juz 2 hal 369 ).
Bagaimana sebenarnya tahap dakwah dalam perjuangan yang ditempuh Rasulullah saw. dan para sahabatnya? Ada tiga tahap perjuangan dalam dakwah yang ditempuh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif); kedua, tahap interaksi dan perjuangan (marhalah tafaul wal kifah); ketiga, tahap penerimaan kekuasaan (marhalah istilamul hukm) untuk menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

UPAYA RASULULLAH SAW DALAM MELAKUKAN PERUBAHAN MASYARAKAT
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad saw adalah orang paling sukses dalam mengubah prilaku dan peradaban manusia dari kondisi jahiliyyah, buta huruf, dan prilaku buruk lainnya menjadi manusia-manusia utama, berakhlaq mulia, dan menjadi pemimpin-pemimpin besar dunia. Hal ini diakui pula oleh Michael H. Hart dalam bukunya, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Hart menempatkan Nabi Muhammad saw pada urutan pertama dari orang-orang yang memegang peranan mengubah arah sejarah dunia. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin melakukan perubahan, hendaklah mencontoh bagaimana Rasulullah saw melakukan proses perubahan ini. Firman Allah SWT: 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya dalam diri Rasulullah saw itu terdapat suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).
Rasulullah saw juga teladan terbaik berkaitan dengan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mentransformasi peradaban. Allah berfirman: 

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf [12]: 108)

Saturday, June 7, 2014

MEMILIH "PEMIMPIN"

Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat. 

Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.

Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat kepemimpinan
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".

Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda: "Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)".(H. R. Muslim). Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, dimana orang itu berkata: "Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang diberikan Allah kepadamu. "Maka jawab Rasulullah saw: "Demi Allah Kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu".(H. R. Bukhari Muslim).

Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22, "Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu".

Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami. Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisaâ 4): 5, "Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu". Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu: (1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).

Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami". Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73, "Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat". Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.

Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih pemimpin
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cerminâ" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian".
Sikap rakyat terhadap pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekwensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: "Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam sholat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)".

Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah (9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
Demikianlah Al-Quran dan Hadits menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.

Thursday, June 5, 2014

L U B E R

Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota. Setelah amandemen keempat UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk langsung dipilih oleh rakyat, sehingga Pilprespun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Meskipun di tengah masyarakat kadang istilah Pemilu lebih banyak merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Arti Azas Pemilu
Penting juga untuk menjadi catatan dalam membahas masalah pemilu, yakni prinsip yang dianut dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil, yang mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan berdasarkan pada asas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil.

Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

Umum berarti pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia yang berumur 17 tahun atau telah pernah kawin berhak ikut memiilih dalam pemilihan umum. Sedangkan warga Negara yang berumur 21 tahun berhak untuk dipilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku secara holistik bagi semua warga Negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasarkan misalnya acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial.

Bebas berarti setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakannya setiap waga Negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.

Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan.

Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, penyelenggara, pelaksana, pemerintah, partai politik peserta pemilu, pengawas dan pemantau pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecuarangan dari pihak manapun.

Tuesday, June 3, 2014

AURAT WANITA

Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Leher dan rambutnya adalah aurat di hadapan lelaki ajnabi (bukan mahram) walaupun sehelai. Pendek kata, dari hujung rambut sampai hujung kaki kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup.
 
Aurat Wanita dalam Hayaatul ‘Am (Kehidupan Umum / Public Life)
Yang dimaksudkan dengan hayaatul ‘am adalah keadaan di mana wanita itu berada di luar dari kawasan rumahnya di mana mereka bercampur dengan masyarakat. Pakaian wanita dalam kehidupan umum iaitu di luar rumahnya terdiri dari dua jenis iaitu :

  • libaas asfal (baju bawah) yang disebut dengan jilbab, dan; 
  • libaas ‘ala (baju atas) iaitu khimar (tudung).
Dengan dua pakaian inilah seseorang wanita itu boleh berada dalam kehidupan umum seperti di jalanan, di pasar-pasar, pasar raya, kampus, taman-taman, dewan orang ramai dan seumpamanya. Dalil wajib memakai jilbab bagi wanita adalah berdasarkan firman Allah :

“Wahai Nabi, suruhlah isteri-isterimu dan anak-anak perempuanmu serta perempuan-perempuan yang beriman, supaya melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan yang baik-baik) maka dengan itu mereka tidak diganggu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” (Al Ahzab:59)

Oleh sebab Al Quran berbahasa Arab, dan perkataan “jilbab” itu adalah perkataan Arab, maka kita hendaklah memahami apakah yang dimaksudkan “jilbab” di dalam bahasa Arab. Dengan kata lain, kita hendaklah memahami dan mengikuti apakah yang orang Arab faham bila disebut jilbab. Maka inilah pakaian yang diperintahkan oleh Allah kepada perempuan. Di samping itu, perincian tentang pakaian ini telah pun dijelaskan di dalam banyak hadis sahih yang wajib diikuti oleh setiap orang.

Jadi, apakah makna jilbab itu? Selain dari melihat sendiri kepada nas-nas hadis tentang pakaian yang dipakai Muslimah semasa zaman Rasulullah, kita juga boleh merujuk kepada banyak kamus Arab untuk mengetahui makna “jilbab”. Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis [Kaherah: Darul Maarif ms 128], jilbab diertikan sebagai "ats tsaubul musytamil ala al jasadi kullihi" (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau "ma fauqa ats tsiyab kal milhafah" (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (seperti jubah), atau "al mula’ah asy tamilu biha al mar’ah" (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Berdasarkan pengertian ini, jelaslah bahawa yang diwajibkan ke atas wanita adalah mengenakan pakaian yang satu (sekeping) yang lurus dari atas hinggalah ke bawah, yakni hingga ke mata kaki. Maksud milhafah/ mula’ah (Arab) adalah pakaian yang dikenakan sebagai pakaian luar lalu dilebarkan sehingga ke bawah hingga menutupi kedua mata kakinya. Untuk pakaian atas, wanita disyariatkan/ diwajibkan memakai “khimar” iaitu tudung atau apa sahaja bahan/ kain yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang leher baju di dada.

Dalil mengenai wajibnya mengenakan pakaian bahagian atas (khimar/ tudung) adalah Firman Allah (bermaksud), “Hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dada mereka” (An Nur:31)

Pakaian jenis ini (jilbab dan khimar) wajib dipakai oleh seorang Muslimah (yang telah baligh) apabila hendak keluar menuju ke pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum. Setelah memakai kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) maka barulah dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju ke kehidupan 'am tanpa sebarang dosa. Jika tidak, maka dia tidak boleh (haram) keluar dari rumah kerana perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam semua keadaan.

Mana-mana wanita yang telah baligh dan melanggar ketetapan Allah ini, maka berdosalah mereka dan layak mendapat seksa Allah di akhirat nanti.

Pakaian wanita dalam Hayatul Khassah (Kehidupan Khusus / private life)

Yang dimaksudkan dengan hayatul khassah adalah keadaan di mana seseorang wanita itu menjalani kehidupannya di rumahnya bersama dengan anggota keluarganya yang lain. Adapun cara seorang Muslimah menutupi auratnya di hadapan lelaki ajnabi dalam kehidupan khusus seperti di rumahnya atau di dalam kenderaan peribadi, syara' tidak menentukan bentuk/ fesyen pakaian tertentu tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafaz dalam firman-Nya yang berbunyi, “wa laa yubdiina” (“dan janganlah mereka menampakkan”) [rujuk Surah An Nur:31]

Atau sabda Nabi, “lam yashluh an yura minha” (“tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya”) - HR Abi Dawud

Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Tetapi ia adalah tertakluk kepada hukum tabarruj (sila lihat perbincangan di bawah).

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat iaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'ie, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, atau fesyennya. Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian wajib dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka tidak dikatakan menutup aurat. Oleh kerana itu apabila kain penutup itu tipis/ transparent sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui sama ada kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat dan haram hukum memakainya.

Larangan Bertabarruj

Adapun dalil tentang larangan bertabarruj adalah juga dari Surah An Nur:60 iaitu Firman Allah :
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti [dari haid dan mengandung] yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An Nur:60)

Mafhum muwafaqah (yang disepakati) dari ayat ini adalah jika perempuan tua yang telah putus haid haram menampakkan perhiasan iaitu bertabarruj, apatah lagi perempuan yang masih muda, belum putus haid dan berkeinginan berumahtangga, tentulah lebih lagi. Dalil lain ialah :
“Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah zaman dahulu; dan dirikanlah sembahyang serta berilah zakat; dan taatlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah (perintahkan kamu dengan semuanya itu) hanyalah kerana hendak menghapuskan perkara-perkara yang mencemarkan diri kamu – wahai “AhlulBait” dan hendak membersihkan kamu sebersih-bersihnya (dari segala perkara yang keji).” (Al Ahzab:33)

Dan Hadis Rasulullah  riwayat dari Bazzar dan At Termizi menjelaskan, “Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, setiap kali mereka keluar, syaitan akan memperhatikannya”.

Abul A’la al Maududi berkata; “Jika kalimat tabarruj dipergunakan kepada kaum wanita, ia bermakna :
  • Wanita yang menunjukkan kecantikan wajahnya, daya tarik tubuhnya kepada lelaki asing (yang bukan mahramnya);
  • Wanita yang mendedahkan kecantikan pakaian dan perhiasannya kepada lelaki asing; dan memperlihatkan dirinya, make-upnya, gerak-gerinya dan kemegahannya. Selain memastikan pakaiannya tidak nipis, jarang, longgar, tidak memakai perhiasan yang menarik perhatian lelaki ajnabi, tidak menyerupai pakaian lelaki atau orang kafir / musyrik, pakaiannya yang bukan melambangkan kemegahan, dia juga tidak boleh tampil dengan haruman semerbak. "Sesiapa jua wanita yang memakai minyak wangi kemudian melintasi khalayak ramai dengan tujuan dihidu bau yang dipakainya, maka dia dikira berzina” [hadis dari Abu Musa al-Asy’ari].
Sesungguhnya aurat wanita Islam bukanlah hanya tudung semata-mata sebagaimana yang difahami oleh sebahagian umat Islam sebaliknya apa yang paling penting ialah setiap Muslimah mestilah memahami batasan aurat dalam hayatul khassah (kehidupan khusus) dan hayatul am (kehidupan umum) menurut syarak selain menyedari keharaman bertabarruj atas semua wanita sama ada belum atau telah putus haid. Menutup aurat juga hendaklah didasari dengan iman dan taqwa iaitu mengharapkan keredhaan Allah semata-mata, bukan atas dasar hak asasi atau rutin harian.
 

Antagonis - Politik

Antagonis - Politik Faktor Penyebab Beberapa sebab utama dari krisis politik ini, yakni feodalisme, oligarki dan banalitas kejahat...